Jasmerah (jagan sekali-kali melupakan sejarah),, bangsa dan peradaban ini lahir karna semangat membara untuk membebaskan diri dari perbudakan dan kebiadaban penjajahan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain: 1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah suatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang idak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya Dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Di samping itu, sebagian besar golongan Mawali (non-Arab), terutama di Irak dan bagian Timur lainnya, merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keampuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4. Lemahnya pemerintahan Daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khlifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung tergulingnya Dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuasaan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al Muthalik. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan kaum Mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
Akumulasi dari berbagai penyebab tersebut serta gabungan dari faktor faktor lainnya yang mungkin tidak diuraikan dalam pembahasan ini, mengantar dinasti yang hampir satu abad berkuasa ini ke jalan keruntuhannya. Dinasti Bani Umayyah diruntuhkan oleh kekuatan politik Dinasti Bani Abbasiyah pada masa Khalifah Marwan bin Muhammad pada 127 H (744 M).
Politik, baik secara praktik maupun teori tidak asing bagi para ulama, khususnya di kalangan pesantren. Sebab dalam khazanah keilmuan Islam, politik dipelajari dalam kitab-kitab fiqih siyasah. Namun, politik yang dijalankan oleh para ulama dan kiai selama ini ialah praktik politik untuk memperkuat kebangsaan dan kerakyatan. Bahkan KH MA Sahal Mahfudh (Rais 'Aam PBNU 1999-2014) menambahkan konsep etika politik.
Dalam konsep yang dicetuskan oleh Kiai Sahal Mahfudh, ketiga entitas tersebut ialah bagian dari politik tingkat tinggi NU atau siyasah ‘aliyah samiyah. Praktik politik ini digulirkan demi menjaga Khittah NU 1926 yang telah menjadi kesepakatan bersama dalam Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur. Menurut Kiai Sahal Mahfudh, politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (siayasah safilah) adalah porsi partai politik bagi warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga atau organisasi, harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi, yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik.
Sejarah mencatat, NU memang pernah memutuskan menjadi partai politik pada 1952. Kemudian tahun 1955 merupakan pemilu pertama yang diikuti oleh NU sebagai partai. Berjalannya waktu, keputusan NU menjadi partai politik pada tahun 1952 turut mendegradasi peran dan perjuangan luhur organsasi karena lebih banyak berfokus ke percaturan politik praktis sehingga pengabdian kepada umat seolah terlupakan. Berangkat dari kegelisahan tersebut, para kiai mengusulkan agar NU secara organisasi harus segera kembali Khittah 1926. Usulan tersebut sempat terhenti. Namun, seruan kembali ke Khittah 1926 muncul kembali pada tahun 1971. Kala itu Ketua Umum PBNU KH Muhammad Dahlan memandang langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran secara historis. Pendapat Kiai Muhammad Dahlan itu coba ditengahi oleh Rais ‘Aam KH Abdul Wahab Chasbullah bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah.
Setelah seruan kembali ke khittah sempat terhenti kala itu, gema tersebut muncul lagi pada tahun 1979 ketika diselenggarakan Muktamar ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah. Seperti seruan sebelumnya, usulan untuk kembali menjadi jami’iyah diniyyah ijtima’iyah dalam Muktamar tersebut juga mentah. Apalagi NU sedang giat-giatnya memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP. Namun pada praktiknya, kelompok kritis dari kalangan NU mengalami penggusuran sehingga menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa peran aktif dalam berbangsa dan bernegara pernah diwujudkan oleh NU dengan menjadi partai politik. Dalam perjalanannya, sedikit demi sedikit NU memulai langkahnya berkiprah dalam dunia politik. Berawal dari MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), NU akhirnya terlibat dalam masalah-masalah politik.
Namun, eksistensi MIAI tidak berlangsung lama, pada Oktober 1943, MIAI akhirnya membubarkan diri dan digantikan oleh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Pada awalnya, Masyumi merupakan sebuah organisasi nonpolitik. Tetapi, setelah Indonesia merdeka, Masyumi akhirnya ditahbiskan menjadi partai politik, dan memutuskan NU sebagai tulang punggung Masyumi. (Baca Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010) Pada tahun 1940-1950, Masyumi akhirnya menjadi partai politik terbesar di Indonesia. Masyumi merupakan partai yang heterogen anggotanya, sehingga perbedaan kepentingan politik banyak terjadi di dalamnya. NU dengan jumlah jamaahnya yang besar membuat Masyumi memperoleh dukungan besar. Namun yang terjadi justru NU dipinggirkan sehingga hanya menjadi alat pendulang suara. Hal itu menyebabkan NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri. Setelah menjadi partai politik, NU mengukir sejarah yang monumental, NU berhasil mendapatkan suara yang cukup besar dan berhasil memperoleh 45 kursi di parlemen pada pemilu 1955. Perolehan suara NU tidak hanya terjadi pada pemilu 1955, pada pemilu selanjutnya, yaitu pemilu 1971 NU juga berhasil memperoleh suara yang cukup besar. Keberhasilan NU ini dinilai karena kemampuan NU menggalang solidaritas di lingkungan kaum santri, serta adanya dukungan penuh dari basis tradisionalnya. Organisasi partai identik dengan perebutan kekuasaaan. Namun, praktik yang dilakukan kader-kader NU dalam percaturan politik lebih banyak mewujudkan kepentingan yang lebih luas, yairu bangsa dan negara. Terutama ketika NU harus berhadapan dengan ideologi komunis dalam diri PKI. Di sisi lain, NU secara kultural juga harus berhadapan dengan kelompok-kelompok Islam konservatif yang berupaya keras memformulisasikan Islam ke dalam sistem negara. Dalam praktiknya, meskipun banyak berjasa dalam membangun pondasi kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, aktivitas NU dalam berpolitik sedikit banyak mengaburkan misi jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan berbasis sosial-kemasyarakatan). Meskipun secara resmi telah menanggalkan diri sebagai partai politik pada 1984, peran-peran NU dalam praktik siyasah berusaha diwujudkan melalui konsep politik tingkat tinggi yang digagas KH Sahal Mahfudh dalam Rapat Pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 2013 di Wonosobo, Jawa Tengah.
Sejak didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H, NU lebih banyak berbaur dengan masyarakat bawah di pedesaan. Sehingga tidak heran bila NU lekat dengan bahasa tradisional. Meski sekarang ini terus mengalami perkembangan yang sangat signifikan, sebagai respon NU terhadap perkembangan dunia modern. Namun NU tetaplah organisasi yang getol mempertahankan tradisi-tradisi Nusantara, asalkan manfaatnya jelas dan bisa diselaraskan dengan nilai-nilai keislaman. Salah satu contoh konkret yang bisa kita lihat sampai saat ini adalah budaya tahlilan. Meski ormas-ormas lain gencar menuduh tahlilan bi’dah, karean tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah, namun NU tetap kuat dengan perinsipnya, selama mengandung maslahah bagi masyarakat dan bisa diselaraskan dengan nilai-nilai ke-Islaman, tanpa masalah.
Pada sejarah Nusantara masa lalu, tahlilan berasal dari upacara pribadatan (selamatan) yang dilakukan nenak moyang bangsa Indonesia yang mayoritas dari mereka adalah penganut agama Hindu dan Budha. Upacara tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan do’a kepada orang yang telah meninggal dunia. Namun secara praktis tahlilan yang dilakukan oleh nenek moyang terdahulu dengan tahlilan yang dilakukan oleh warga NU jauh berbeda, yakni menganti semua bacaan upacara selamatan tersebut dengan bacaan-bacaan-bacaan Al-Quran, Shalawat dan dzikir-dzikir kepada Allah SWT. Manfatnya, selain mendekatkan diri kepada Allah SWT. budaya tahlilan juga merekatkan relasi sosial masyarakat. Itu hanya salah satu contoh bahwa NU begitu menghargai kebudayaan Nusantara. Selama mengandung maslahah dan bisa diselaraskan dengan ajaran Islam, kebudayaan apapun harus tetap dipertahankan. Sebab kebudayaan merupakan kekayaan bangsa yang harganya begitu mahal.
Di tengah kemajuan teknologi yang berkembang begitu pesat, NU harus mampu memainkan perannya secara siginifikan di bidang kebudayaan. Agar aset-aset kekayaan bangsa Indonesia tidak tergerus oleh budaya global yang notabene banyak dipengaruhi budaya-budaya Barat. Terutama menyangkut kerekatan relasi sosial antarsesama bangsa. Kemajuan teknologi yang begitu pesat menjadi ancaman serius bagi budaya silaturrahim yang sejak dulu telah membudaya di bumi Nusantara. Komunikasi melalui HP, Facebook, Twiter dan yang sejenis, perlahan tapi pasti telah merusak tatanan kebudayaan Nusantara. Meski secara jujur kita akui ada hal positifnya. Hanya saja jangan sampai kita terlelap dalam gelamur kebudayaan modern, sehingga lupa akar kebudayaan Nusantara yang mestinya kita lestarikan. Hal mendasar yang begitu terasa jauh saat ini dari realitas dilingkungan kita adalah budaya gotong royong. Dulu budaya ini mengakar kuat dalam tradisi Nusantara. Sekarang hanya tinggal kenangan, sebab masyarakat sibuk dengan ambisi individualismenya masing-masing dan mengukur segalanya dengan upah (uang). Di desa sekalipun kita sangat sulit menemukan budaya gotong royong dilakukan oleh warga. Sementara gotong royong dahulu begitu akrab didengar di pedesaan. Suatu contoh, di masa lalu orang desa yang hendak memperbaiki kandang hewan peliharaan hanya butuh kentongan sebagai alat bunyi yang menandakan bahwa keluarga tersebut sedang butuh bantuan, sehingga ketika kentongan tersebut bunyikan warga datang berhamburan untuk membantunya. Kemudian mereka berbaur bersama begitu akrab tanpa tanpa berharap upah. Sekarang budaya seperti itu sudah tidak jarang kita temukan dalam dunia modern ini. Pada masa modern ini masyarakat cenderung individualistis yakni lebih mementingkan kepentingan diri sendiri.
Oleh karena itu, NU sebagai organisasi sosial keagamaan harus bisa memainkan perannya secara signifikan dalam rangka menjaga dan melestarikan kebudayaan Nusantara. Jangan sampai aset kebudayaan yang begitu banyak dimiliki Indonesia di masa lalu hilang ditelan globalisasi budaya. Negara kita dikenal dengan negara multikultural, kita tidak ingin julukan ini hanya manis di masa lalu, namun sekarang kita hanya gigit jari karena kelalaian dalam menjaga kebudayaan tersebut.
Dipenjara Jepang, Hadlratussyekh Khatam Al-Qur’an dan Kitab Hadits Berkali-kali
1. KH Hasyim Asy'ari
Sakit dan pedihnya para pejuang Indonesia dalam menjaga martabat bangsa dari kungkungan penjajah dapat dirasakan nikmatnya oleh generasi saat ini. Bahkan kegigihan dalam mempertaruhkan jiwa dan raga patut menjadi kesadaran kolektif bahwa bangsa ini merdeka karena perjuangan keras di atas cucuran darah para pejuang sehingga rakyat Indonesia sekarang wajib menjaga hasil perjuangan para pahlawan tersebut.
Kepedihan perjuangan untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah dirasakan betul oleh gurunya para kiai di Nusantara, Hadlratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947). Pahlawan Nasional, Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) tersebut digelandang oleh tentara Nippon (Jepang) karena alasan mengada-ada, berupaya melakukan pemberontakan. Lalu ayah KH Abdul Wahid Hasyim ini dipenjara dan mengalami siksa pedih dari tentara Jepang untuk alasan yang tidak pernah diperbuatnya. Meski mengalami beragam kekerasan di dalam penjara, kakek dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak menyurutkan sedikit pun semangat menegakkan agama Allah dengan tetap melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan mengulang hafalan hadits-hadits dalam kitab Al-Bukhori dan menolak dengan tegas agar hormat menghadap matahari sebagai sikap tunduk dan patuh kepada Kaisar Jepang, Teno Heika.
Kisah keteguhan hati Kiai Hasyim Asy’ari dengan tetap menghafal Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhori selama dipenjara oleh Jepang diriwayatkan oleh Komandan Hizbullah wilayah Jawa Tengah, KH Saifuddin Zuhri saat berbincang dengan KH Wahid Hasyim (Berangkat dari Pesantren, 2013) dalam sebuah kesempatan sesaat setelah Kiai Hasyim Asy’ari dibebaskan oleh Jepang melalui diplomasi KH Abdul Wahab Chasbullah dan Gus Wahid sendiri. “Bagaimana kabar Hadlratussyekh setelah keluar dari tahanan Nippon?” tanya Kiai
Saifuddin Zuhri mengawali obrolan dengan Kiai Wahid Hasyim.
Kiai Wahid Hasyim menjelaskan bahwa kesehatan ayahnya justru semakin membaik. Bahkan salah satu perumus dasar negara Indonesia itu mengabarkan bahwa ayahnya selama di penjara mampu mengkhatamkan Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhori berkali-kali. “Alhamdulillah, kesehatannya justru semakin membaik. Selama dalam penjara, Hadlratussyekh bisa mengkhatamkan Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhori berkali-kali,” terang Kiai Wahid kepada Saifuddin Zuhri.
Dalam kesempatan tersebut, Kiai Wahid menjelaskan bahwa Jepang telah melakukan politik kompensasi terhadap Hadlratussyekh Hasyim Asy’ari. Kiai Wahid memahami beberapa alasan Jepang dalam melakukan langkah tersebut selain diplomasi handal dari Kiai Wahab dan dirinya untuk membebaskan Rais Akbar NU tersebut. Kiai Wahid menguraikan, politik kompensasi itu entah karena kedudukan perang Nippon yang mulai terdesak oleh serangan-serangan sekutu terutama Amerika, entah karena salah langkah dalam menghadapi umat Islam, entah karena mengalami tekanan batin terkait informasi yang salah tentang Hadlratussyekh, entah karena yang lainnya. Politik kompensasi yang dimaksud ialah Hadlratussyekh ditunjuk oleh Jepang untuk menjadi Shumubucho, Kepala Jawatan Agama yang sebelumnya dijabat oleh seorang Jepang, Kolonel Horie. Kiai Wahid menerangkan bahwa Hadlratussyekh telah melakukan langkah bijaksana dengan menerima kompensasi tersebut. Karena jika menolaknya, bisa dianggap oleh Nippon sebagai sikap tak mau kerja sama. Jangan dilupakan, Hadlratussyekh Hasyim Asy’ari baru saja mengalami penderitaan selama lima bulan di penjara. Namun jabatan tersebut secara operasional diserahkan kepada Kiai Wahid karena faktor usia dan kesibukan mengajar Hadlratussykeh di Tebuireng yang tidak memungkinkannya untuk bolak-balik Tebuireng-Jakarta.
2. KH. Mahfudz Shiddiq
Nama KH Mahfudz Shiddiq tak pernah luntur dalam kertas sejarah pendirian NU. Kiai Mahfudz, sapaan akrabnya, merupakan sosok yang fenomenal. Bayangkan di usianya yang cukup muda, 30 tahun, ia sudah menjadi Ketua PBNU. Itu terjadi setelah KH Hasyim Asy’ari meminta Kiai Mahfudz untuk mengomandani PBNU dalam Muktamar NU di Malang tahun 1937.
Namun proses penunjukan Kiai Mahfuz sebagai Ketua PBNU, tidak mulus-mulus amat. Sebab, permintaan gurunya tersebut ditolak dengan alasan dirinya terlalu muda, sehingga merasa kurang pantas untuk menyandang jabatan setinggi itu . Padahal masih banyak kiai yang lebih senior dibanding dirinya, dan lebih pantas menerima amanah itu. Namun KH Hasyim Asy’ri tak kehilangan akal. Ia lalu menghubungi ayahnya (KH Muhammad shiddiq) di Jember. “Maka atas perintah orang tuanya dan permintaan gurunya, Kiai Mahfudz bersedia menerima amanah sebagai Ketua PBNU,” ucap salah seorang cucu jauhnya, Gus Ahmad Gholban Aunir Rohman saat menyambut kedatangan rombongan Ziarah PWNU Jawa Timur di makam KH Mahfudz Shiddiq, Sabtu (7/3) malam.
Kiai Mahfudz yang lahir di Jember tahun 1907 itu, memang pernah nyantri kepada KH Hasyim Asy’ari di Jombang, setelah sebelumnya belajar kepada ayahnya sendiri, KH Muhammad Shiddiq. Kiai Mahfudz akhirnya belajar ke Makkah. Kendati masih muda, Kiai Mahfudz cukup bertanggung jawab dalam mengemban tugas sebagai Ketua PBNU. Ia rela pindah ke Surabya dengan mengotrak rumah kecil di daerah Ampel untuk memudahkan dirinya menjalankan kewajibannya secara maksimal. Saat memimpin PBNU, Kiai Mahfudz berhasil menerbitkan majalah NU yang beredar di Jawa, Madura hingga Lampung Selatan. Ia juga menulis buku Pedoman Tabligh dan buku tentang Ijtihad dan Taqlid sebagai pegangan warga NU ketika menghadapi kaum yang sering menyalahkan amalan NU.
Kiai Mahfudz juga dikenal sebagai pemberani. Saat Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dan memerintahkan supaya rakyat Indonesia meghormati matahari dengan cara membungkukkan badan, KH Hasyim Asy’ari dan Kiai Mahfudz terang-terangan melawan perintah itu. Akibatnya, kedua tokoh tersebut, dimasukan ke dalam penjara. Tak ayal, keduanya mendapat siksaan yang cukup parah di ruang yang pengap tersebut. Sampai-sampai tangan kanan KH Hasyim Asy’ari tidak bisa bergerak sesaat. Siksaan kepada Kiai Mahfudz yang masih muda lebih kejam dan berat. Saat keluar dari penjara, kondisi Kiai Mahfudz dalam keadaan sakit yang teramat parah. Dan itulah yang kemudian menyebabkannya meninggal dunia tahun 1944. Ketika itu usianya 37 tahun. “Beliau wafat dengan membawa luka-luka siksaan tentara Jepang,” jelasnya. Menurut Gus Gholban, KH Mustofa Bisri pernah bercerita bahwa ketika Indonesia merdeka pada Agustus tahun 1945, beberapa bulan setelah Kiai Mahfudz wafat, KH Hasyim Asy’ari menangis tersedu-sedu mengingat betapa pedihnya siksaan Jepang kepada santrinya itu. “Namun ketika Indonesia merdeka KH Mahfudz Shiddiq tidak bisa merasakan manisnya kemerdekaan,” pungkas Gus Gholban menirukan ucapan KH Mustofa Bisri.
Sebagai
warga NU, kita sudah seharusnya mengetahui siapa saja tokoh-tokoh pendiri NU
bukan.
Berikut
ini kami jelaskan biografi tokoh-tokoh pendiri NU selengkapnya serta
kontribusinya terhadap salah satu organisasi terbesar di Indoneisa.
K.H. Hasyim Asy’ari, Tokoh Penting Berdirinya
NU
MerahPutih
K.H
Hasyim Asy’ari merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia yang ditetapkan
langsung oleh peresiden pertama suekarno tahun 1964.
Beliau
putra dari Kyai Asy’ari dan Ibu Halimah sebagai anak ke-3 dari 11 bersaudara.
Beliau
juga merupakan kakek dari salah satu presiden Indonesia, yaitu K.H Abdurrahman
Wahid atau dikenal dengan nama Gusdur.
Beliau
mempunyai empat orang istri dari keturunan para Ulama Indonesia,
yang bernama, Khadijah, Nafiqah, Nafisah, dan Masrurah.
Dari
hasil pernikahannya itu, beliau dikaruniai 15 orang anak, diantaranya:
Wahid Hasyim.
Muhammad Ya’kub.
Mashrurah.
Abdul Hakim.
Azzah.
Ubaidillah.
Khoiriyyah.
Abdul Karim.
Fatimah.
Khadijah.
Aisyah.
Hannan.
Abdullah.
Muhammad Yusuf.
Abdul Qodir.
Beliau
lahir di desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur
pada tanggal 14 Februari 1871 tepatnya tanggal 21 juli 1947.
Beliau
wafat pada tanggal 25 Juli 1947 dan dikebumikan di Tebuireng, Jombang.
Semasa
hidupnya, KH Hasyim Asy’ari dikenal sebagai orang yang cerdas, maka tak heran
jika di usianya yang masih 13 tahun, beliau sudah bisa memahami kitab-kitab
klasik yang diajarkan oleh sang ayah yaitu Kyai Asy’ari.
Di
usianya tersebut, beliau juga dipercaya untuk membantu ayahnya mengajar santri-santri
di Pondok Pesantren Jombang.
Setelah
beberapa tahun berselang, Hasyim Asy’ari muda mulai pergi belajar mencari ilmu
ke beberapa Pondok Pesantren di Indonesia.
Dan
salah satu guru besar beliau adalah Kyai Kholil Bangkalan, Madura.
Selain
mondok di beberapa pesantren di Indonesia, beliau juga pernah menempuh
pendidikan di luar negeri seperti di kota Makkah, Arab Saudi.
Di
sana, beliau di bimbing langsung oleh Guru Besar Kyai Mahfudh At-tirmisi yang
juga mengajarkan ilmu talqin tarekat Qadiriah Wa Naqsabandiah.
Kontribusi K.H Hasyim Asy’ari Sebagai Tokoh
Pendiri NU
Perjuangan
beliau dalam mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama dan Nusantara tentu tidaklah
mudah, beliau menghabiskan waktu serta perjalanan yang cukup panjang dalam
perjuangannya.
Dengan
berbagai pemahaman yang berbeda, pertimbangan-pertimbangan, serta menunggu izin
dari guru besarnya yang ada di Bangkalan, Madura (Kyai Kholil Bangkalan),
merupakan salah satu faktor yang menjadi tertundanya pendirian Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama.
Setelah
beliau menerima isyarat dari santri yang diutus oleh Kyai Kholil Bangkalan yang
juga merupakan salah satu jawaban dari istikharahnya beliau, akhirnya pada
tanggal 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) Jam’iyyah Nahdlatul Ulama resmi
didirikan.
Sebagai
tokoh pendiri NU dan juga merupakan Rais Akbar NU di tahun 1926 sampai 1947,
kontribusi KH Hayim Asy’ari sangat dirasakan
oleh seluruh Nahdhliyyin.
Dan
pada saat muktamar NU tahun 1930, kobstribusi beliau terhadap NU dibuktikan
dengan tulisannya tentang Anggaran Dasar NU yang dikenal dengan Qannun
al-Asaasii Jami’iyat Nahdlatul Ulama.
Dalam
kitab tersebut dijelaskan beberapa hal terkait undang-undang dasar organisasi
NU dalam hal mempersatukan umat islam di Indonesia.
Adapun
ringkasan dari Anggaran Dasar NU tersebut, meliputi tiga hal utama yang menjadi
catatan penting, antara lain:
Saling mengenal satu sama lain.
Adanya kemauan ingin bersatu.
Mempunyai sifat saling
mengasihi, bersimpati, dan toleransi.
Pemikiran-pemikiran
beliau kemudian dituangkan dalam wadah organisasi NU, yang bertujuan untuk
memperkuat Ukhuwah Islamiyah antar organisasi.
Mengutamakan
saling toleransi, menghilangkan sifat fanatisme, serta menolak paham-paham
radikalisme yang berniat memecah belah bangsa, agama serta negara.
Kontribusi
beliau terhadap NU, tidak lain adalah untuk menegakkan syariat Islam di
Indonesia tampa harus menghilangkan prinsip dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Beliau
adalah ulamak yang mempunyai sifat patriotisme dan nasionalisme yang religius.
Dengan
wadah organisasi NU, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan sebuah fatwa untuk
perjuangan membela dan mempertahankan kemerdekaan NKRI.
Fatwa
tersebut juga merupakan Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada tanggal 22 oktober
1945 di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.
Dalam
fatwa Resolusi Jihad tersebut, setidaknya ada tiga hal penting, yaitu:
Hukum melawan penjajah demi
membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah suatu kewajiban
(Fardlu’ain) bagi setiap umat Islam baik laki-laki maupun perempuan dalam
radius 90 km.
Tingkatan derajat dalam
berjihad melawan penjajah merupakan jihad fisabilillah, dan bagi para
pejuang yang gugur dalam melawan penjajah termasuk mati syahid.
Dan jika ada salah seorang dari
bangsa ini yang mengkhianati negara serta, maka sama halnya dia telah
menjadi kaki tangan penjajah (penghianat), dan bagi mereka wajib hukumnya
untuk dibunuh.
BiografiK.H Abdul Wahab Hasbullah (Katib NU Tahun 1926 dan Rais
Aam NU di tahun 1947-1971)
K.H Abdul Wahab Hasbullah merupakan salah seorang
dari sekian banyak Ulama yang ikut serta menghadiri acara saat peresmian
organisasi Nahdlatul Ulama di Surabaya (31 Januari 1926).
Beliau merupakan putra dari salah seorang ulama
besar pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, di Jombang, Jawa Timur, yaitu KH
Hasbullah Said.
Sementara ibunya bernama Nyai Latifah dan
cicitnya bernama Rizky Fadlullah.
Beliau mempunyai adik perempuan bernama Nur
Khadijah yang kemudian menikah dengan salah seorang kerabat dekatnya, yakni KH
Bisri Syansuri.
Mereka berdua dipertemukan dengan cara perjodohan
lalu dinikahkan di kota Makkah, Arab Saudi.
Abdul Wahab Hasbullah sejak masih muda sudah
banyak mengembara guna mendalami ilmu-ilmu agama Islam di beberapa Pondok
Pesantren terkemuka di Indonesia, diantaranya adalah:
Pondok Pesantren Langitan Tuban.
Pondok Pesantren Mojosari Nganjuk.
Pondok Pesantren Tawangsari Sepanjang.
Pondok Pesantren asuhan KH Kholil Bangkalan Madura.
Pondok Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan KH Hasyim
Asy’ari.
Kontribusi K.H Abdul Wahab Hasbullah Sebagai Salah Seorang
Tokoh Pendiri NU
Beliau juga merupakan salah satu tokoh pendiri NU
selain Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari yang mana perannya sangat
penting ketika organisasi NU mulai diresmikan.
Beliau memiliki pemikiran yang modern namun
religius sehingga seringkali dalam setiap acara organisasi, beliau pun selalu
ikut berkontribusi untuk mengembangkannya.
Pada saat oganisasi Nahdlatul Ulama akan
didirikan, KH Abd Wahab Hasbullah bersama dengan tokoh-tokoh lainnya berusaha
untuk menghimpun Ulama-ulama pesantren di seluruh Nusantara agar dapat
menghadiri peresmian NU skala Nasional.
Dengan kontribusi beliau yang cukup besar terhadap NU, maka tak heran jika
beliau dijuluki sebagai bapak pendiri NU.
Bahkan, ketika masa perjuangan NU melawan
penjajah jepang, ternyata KH Abdul Wahab turun langsung menjadi panglima Laskar
Mujahidin.
Bersama adik iparnya yaknik KH Bisri
Syansuri pada tahun 1926, beliau merumuskan hasil pemikirannya dengan
membentuk Tim Komite Hijaz.
Organisasi ini sifatnya sementara, karena
tujuannya hanya untuk memperjuangkan hak-hak dalam beribadah di Tanah Suci
Makkah tanpa ada larangan bermadzhab.
Selain itu, beliau juga menjadi salah seorang
pencetus dasar-dasar kepemimpinan organisasi NU menjadi dua badan, yaitu
Syuriah dan Tanfidziah sebagai salah satu cara untuk menyatukan kalangan Tua
dan Muda.
KH Abdul Wahab Hasbullah wafat diusianya yang ke
85 tahun pada tanggal 29 desember 1971 di Jombang, Jawa Timur.
Dan untuk menghormati sumua pengorbana dan
perjuangan beliau dalam membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
akhirnya Presiden Joko Widodo menganugrahkan gelar Pahlawan Nasional pada
tanggal 7 november 2014.
Dalam
khittah Nahdlatul Ulama hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo dalam bab
Dasar-Dasar Paham Keagamaan Nahdlatul Ulama disebutkan tiga hal berikut.
1.Nahdlatul
Ulama mendasarkan paham keagamaan pada sumber ajaran Islam: Alqur’an, Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas.
2.Dalam
memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya di atas, Nahdlatul Ulama
mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan
madzhab:
1.1) Di bidang
aqidah, Nahdlatul Ulama mengikuti ahlussunnah wal Jama’ah yang
dipelopori oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Manshur Al-Maturidi.
2.2) Di bidang fiqh,
Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan (madzhab) salah satu dari
madzhab Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris AsySyafi’i
dan Imam Ahmad bin Hanbal.
3.3) Di bidang
tasawuf, mengikuti Imam al-Junaid
al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali serta imam-imam yang lain.
3.Nahdlatul
Ulama mengikuti pendirian (berpendirian) bahwa Islam adalah agama yang fitri,
yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Paham
keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-nilai
baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia,
seperti suku maupun bangsa. Paham Nahdlatul Ulama adalah melestarikan semua
nilai-nilai unggul kelompok dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.5
Paham
keagamaan dalam NU terdapat dua aspek dalam madzhab. Pertama, metode yang
dipakai oleh para mujtahid dalam merumuskan hukum Islam (istinbath).
Kedua, hasil dari penerapan metode istinbath tersebut. Nahdlatul Ulama
memformulasikan keduanya sebagai metode pemecahan hukum yang berlaku di
kalangan nahdliyin. Dari sinilah ada yang disebut dengan madzhab qauli dan
madzhab manhaji.
1.Madzhab
Qauli
Menurut madzhab ini, pendapat keagamaan ulama
yang teridentitas sebagai ulama Aswaja dikutip secara utuh qaulnya dari
kitab mu’tabar dalam madzhab, seperti
mengutip dari kitab Al-Iqtishad
fi al-I’tiqad karangan al-Ghazali, atau al-Umm karya
asySyafi’i. Agar terjaga keutuhan paham madzab sunni harus terhindarkan pengutipan
pendapat dari kitab yang bermadzhab lain.
2.Madzhab
Manhaji
Ketika merespon suatu masalah kasuistik dipandang perlu menyertakan dalil nash
syar’i berupa kutipan ayat al-Qur’an, nukilan matan sunnah atau hadis,
untuk mewujudkan citra muhafadzah, maka kerjanya sebagai berikut:
1.Nash al-Qur’an yang
dikutip dari mushaf usmani. Tafsiran pun harus berasal dari kitab-kitab tafsir
yang mu’tabar.
2.Penukilan hadis harus
berasal dari kitab-kitab standar.
3.Pengutipan ijma’ perlu
memisahkan kategori ijma’ shahabi yang diakui tertinggi mutu
kehujjahannya dari ijma’ mujtahidin. Sumber pengutipan sebaiknya mengacu
pada kitab karya mujtahid muharrir madzhab, seperti Imam
Nawawi dan lain- lain.