Sabtu, 24 Juli 2021

Runtuhnya Dinasti Umayyah


Ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain:
1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah suatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang idak sehat di kalangan anggota keluarga istana.

2. Latar belakang terbentuknya Dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.

3. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Di samping itu, sebagian besar golongan Mawali (non-Arab), terutama di Irak dan bagian Timur lainnya, merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keampuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.

4. Lemahnya pemerintahan Daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khlifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.

5. Penyebab langsung tergulingnya Dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuasaan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al Muthalik. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan kaum Mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.

Akumulasi dari berbagai penyebab tersebut serta gabungan dari faktor faktor lainnya yang mungkin tidak diuraikan dalam pembahasan ini, mengantar dinasti yang hampir satu abad berkuasa ini ke jalan keruntuhannya. Dinasti Bani Umayyah diruntuhkan oleh kekuatan politik Dinasti Bani Abbasiyah pada masa Khalifah Marwan bin Muhammad pada 127 H (744 M).

Presensi Kehadiran


Selasa, 23 Maret 2021

Politik Kebangsaan NU

 

Politik, baik secara praktik maupun teori tidak asing bagi para ulama, khususnya di kalangan pesantren. Sebab dalam khazanah keilmuan Islam, politik dipelajari dalam kitab-kitab fiqih siyasah. Namun, politik yang dijalankan oleh para ulama dan kiai selama ini ialah praktik politik untuk memperkuat kebangsaan dan kerakyatan. Bahkan KH MA Sahal Mahfudh (Rais 'Aam PBNU 1999-2014) menambahkan konsep etika politik.

Dalam konsep yang dicetuskan oleh Kiai Sahal Mahfudh, ketiga entitas tersebut ialah bagian dari politik tingkat tinggi NU atau siyasah ‘aliyah samiyah. Praktik politik ini digulirkan demi menjaga Khittah NU 1926 yang telah menjadi kesepakatan bersama dalam Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur. Menurut Kiai Sahal Mahfudh, politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (siayasah safilah) adalah porsi  partai politik bagi warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga atau organisasi, harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi, yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik.

Sejarah mencatat, NU memang pernah memutuskan menjadi partai politik pada 1952. Kemudian tahun 1955 merupakan pemilu pertama yang diikuti oleh NU sebagai partai. Berjalannya waktu, keputusan NU menjadi partai politik pada tahun 1952 turut mendegradasi peran dan perjuangan luhur organsasi karena lebih banyak berfokus ke percaturan politik praktis sehingga pengabdian kepada umat seolah terlupakan. Berangkat dari kegelisahan tersebut, para kiai mengusulkan agar NU secara organisasi harus segera kembali Khittah 1926. Usulan tersebut sempat terhenti. Namun, seruan kembali ke Khittah 1926 muncul kembali pada tahun 1971. Kala itu Ketua Umum PBNU KH Muhammad Dahlan memandang langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran secara historis. Pendapat Kiai Muhammad Dahlan itu coba ditengahi oleh Rais ‘Aam KH Abdul Wahab Chasbullah bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah.

Setelah seruan kembali ke khittah sempat terhenti kala itu, gema tersebut muncul lagi pada tahun 1979 ketika diselenggarakan Muktamar  ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah. Seperti seruan sebelumnya, usulan untuk kembali menjadi jami’iyah diniyyah ijtima’iyah dalam Muktamar tersebut juga mentah. Apalagi NU sedang giat-giatnya memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP. Namun pada praktiknya, kelompok kritis dari kalangan NU mengalami penggusuran sehingga menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa peran aktif dalam berbangsa dan bernegara pernah diwujudkan oleh NU dengan menjadi partai politik. Dalam perjalanannya, sedikit demi sedikit NU memulai langkahnya berkiprah dalam dunia politik. Berawal dari MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), NU akhirnya terlibat dalam masalah-masalah politik.

Namun, eksistensi MIAI tidak berlangsung lama, pada Oktober 1943, MIAI akhirnya membubarkan diri dan digantikan oleh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Pada awalnya, Masyumi merupakan sebuah organisasi nonpolitik. Tetapi, setelah Indonesia merdeka, Masyumi akhirnya ditahbiskan menjadi partai politik, dan memutuskan NU sebagai tulang punggung Masyumi. (Baca Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010) Pada tahun 1940-1950, Masyumi akhirnya menjadi partai politik terbesar di Indonesia. Masyumi merupakan partai yang heterogen anggotanya, sehingga perbedaan kepentingan politik banyak terjadi di dalamnya. NU dengan jumlah jamaahnya yang besar membuat Masyumi memperoleh dukungan besar. Namun yang terjadi justru NU dipinggirkan sehingga hanya menjadi alat pendulang suara. Hal itu menyebabkan NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri. Setelah menjadi partai politik, NU mengukir sejarah yang monumental, NU berhasil mendapatkan suara yang cukup besar dan berhasil memperoleh 45 kursi di parlemen pada pemilu 1955. Perolehan suara NU tidak hanya terjadi pada pemilu 1955, pada pemilu selanjutnya, yaitu pemilu 1971 NU juga berhasil memperoleh suara yang cukup besar. Keberhasilan NU ini dinilai karena kemampuan NU menggalang solidaritas di lingkungan kaum santri, serta adanya dukungan penuh dari basis tradisionalnya. Organisasi partai identik dengan perebutan kekuasaaan. Namun, praktik yang dilakukan kader-kader NU dalam percaturan politik lebih banyak mewujudkan kepentingan yang lebih luas, yairu bangsa dan negara. Terutama ketika NU harus berhadapan dengan ideologi komunis dalam diri PKI. Di sisi lain, NU secara kultural juga harus berhadapan dengan kelompok-kelompok Islam konservatif yang berupaya keras memformulisasikan Islam ke dalam sistem negara. Dalam praktiknya, meskipun banyak berjasa dalam membangun pondasi kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, aktivitas NU dalam berpolitik sedikit banyak mengaburkan misi jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan berbasis sosial-kemasyarakatan). Meskipun secara resmi telah menanggalkan diri sebagai partai politik pada 1984, peran-peran NU dalam praktik siyasah berusaha diwujudkan melalui konsep politik tingkat tinggi yang digagas KH Sahal Mahfudh dalam Rapat Pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 2013 di Wonosobo, Jawa Tengah.

Presensi Kehadiran


Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/104034/politik-nu-politik-kebangsaan-dan-politik-kerakyatan

NU dan Perkembangan Sosial

 

Peran NU di Bidang Sosial dan Budaya
        Sejak didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H, NU lebih banyak berbaur dengan masyarakat bawah di pedesaan. Sehingga tidak heran bila NU lekat dengan bahasa tradisional. Meski sekarang ini terus mengalami perkembangan yang sangat signifikan, sebagai respon NU terhadap perkembangan dunia modern. Namun NU tetaplah organisasi yang getol mempertahankan tradisi-tradisi Nusantara, asalkan manfaatnya jelas dan bisa diselaraskan dengan nilai-nilai keislaman. Salah satu contoh konkret yang bisa kita lihat sampai saat ini adalah budaya tahlilan. Meski ormas-ormas lain gencar menuduh tahlilan bi’dah, karean tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah, namun NU tetap kuat dengan perinsipnya, selama mengandung maslahah bagi masyarakat dan bisa diselaraskan dengan nilai-nilai ke-Islaman, tanpa masalah.
        Pada sejarah Nusantara masa lalu, tahlilan berasal dari upacara pribadatan (selamatan) yang dilakukan nenak moyang bangsa Indonesia yang mayoritas dari mereka adalah penganut agama Hindu dan Budha. Upacara tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan do’a kepada orang yang telah meninggal dunia. Namun secara praktis tahlilan yang dilakukan oleh nenek moyang terdahulu dengan tahlilan yang dilakukan oleh warga NU jauh berbeda, yakni menganti semua bacaan upacara selamatan tersebut dengan bacaan-bacaan-bacaan Al-Quran, Shalawat dan dzikir-dzikir kepada Allah SWT. Manfatnya, selain mendekatkan diri kepada Allah SWT. budaya tahlilan juga merekatkan relasi sosial masyarakat. Itu hanya salah satu contoh bahwa NU begitu menghargai kebudayaan Nusantara. Selama mengandung maslahah dan bisa diselaraskan dengan ajaran Islam, kebudayaan apapun harus tetap dipertahankan. Sebab kebudayaan merupakan kekayaan bangsa yang harganya begitu mahal.
        Di tengah kemajuan teknologi yang berkembang begitu pesat, NU harus mampu memainkan perannya secara siginifikan di bidang kebudayaan. Agar aset-aset kekayaan bangsa Indonesia tidak tergerus oleh budaya global yang notabene banyak dipengaruhi budaya-budaya Barat. Terutama menyangkut kerekatan relasi sosial antarsesama bangsa. Kemajuan teknologi yang begitu pesat menjadi ancaman serius bagi budaya silaturrahim yang sejak dulu telah membudaya di bumi Nusantara. Komunikasi melalui HP, Facebook, Twiter dan yang sejenis, perlahan tapi pasti telah merusak tatanan kebudayaan Nusantara. Meski secara jujur kita akui ada hal positifnya. Hanya saja jangan sampai kita terlelap dalam gelamur kebudayaan modern, sehingga lupa akar kebudayaan Nusantara yang mestinya kita lestarikan. Hal mendasar yang begitu terasa jauh saat ini dari realitas dilingkungan kita adalah budaya gotong royong. Dulu budaya ini mengakar kuat dalam tradisi Nusantara. Sekarang hanya tinggal kenangan, sebab masyarakat sibuk dengan ambisi individualismenya masing-masing dan mengukur segalanya dengan upah (uang). Di desa sekalipun kita sangat sulit menemukan budaya gotong royong dilakukan oleh warga. Sementara gotong royong dahulu begitu akrab didengar di pedesaan. Suatu contoh, di masa lalu orang desa yang hendak memperbaiki kandang hewan peliharaan hanya butuh kentongan sebagai alat bunyi yang menandakan bahwa keluarga tersebut sedang butuh bantuan, sehingga ketika kentongan tersebut bunyikan warga datang berhamburan untuk membantunya. Kemudian mereka berbaur bersama begitu akrab tanpa tanpa berharap upah. Sekarang budaya seperti itu sudah tidak jarang kita temukan dalam dunia modern ini. Pada masa modern ini masyarakat cenderung individualistis yakni lebih mementingkan kepentingan diri sendiri.
        Oleh karena itu, NU sebagai organisasi sosial keagamaan harus bisa memainkan perannya secara signifikan dalam rangka menjaga dan melestarikan kebudayaan Nusantara. Jangan sampai aset kebudayaan yang begitu banyak dimiliki Indonesia di masa lalu hilang ditelan globalisasi budaya. Negara kita dikenal dengan negara multikultural, kita tidak ingin julukan ini hanya manis di masa lalu, namun sekarang kita hanya gigit jari karena kelalaian dalam menjaga kebudayaan tersebut.





Selasa, 09 Maret 2021

Uji Kompetensi 2

 

Assalamualaikum untuk materi hari ini tgl 10 Maret 2021. anak-anak kerjakan tugas dikitab hal 119 sd 121 A dan B . jawaban dikirim lewat WA

 Presensi Kehadiran

TOKOH NU Yang di Penjara Jepang

     Dipenjara Jepang, Hadlratussyekh Khatam Al-Qur’an dan Kitab Hadits Berkali-kali

  1. KH Hasyim Asy'ari

  Sakit dan pedihnya para pejuang Indonesia dalam menjaga martabat bangsa dari kungkungan penjajah dapat dirasakan nikmatnya oleh generasi saat ini. Bahkan kegigihan dalam mempertaruhkan jiwa dan raga patut menjadi kesadaran kolektif bahwa bangsa ini merdeka karena perjuangan keras di atas cucuran darah para pejuang sehingga rakyat Indonesia sekarang wajib menjaga hasil perjuangan para pahlawan tersebut.

    Kepedihan perjuangan untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah dirasakan betul oleh gurunya para kiai di Nusantara, Hadlratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947). Pahlawan Nasional, Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) tersebut digelandang oleh tentara Nippon (Jepang) karena alasan mengada-ada, berupaya melakukan pemberontakan. Lalu ayah KH Abdul Wahid Hasyim ini dipenjara dan mengalami siksa pedih dari tentara Jepang untuk alasan yang tidak pernah diperbuatnya. Meski mengalami beragam kekerasan di dalam penjara, kakek dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak menyurutkan sedikit pun semangat menegakkan agama Allah dengan tetap melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan mengulang hafalan hadits-hadits dalam kitab Al-Bukhori dan menolak dengan tegas agar hormat menghadap matahari sebagai sikap tunduk dan patuh kepada Kaisar Jepang, Teno Heika.

    Kisah keteguhan hati Kiai Hasyim Asy’ari dengan tetap menghafal Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhori selama dipenjara oleh Jepang diriwayatkan oleh Komandan Hizbullah wilayah Jawa Tengah, KH Saifuddin Zuhri saat berbincang dengan KH Wahid Hasyim (Berangkat dari Pesantren, 2013) dalam sebuah kesempatan sesaat setelah Kiai Hasyim Asy’ari dibebaskan oleh Jepang melalui diplomasi KH Abdul Wahab Chasbullah dan Gus Wahid sendiri. “Bagaimana kabar Hadlratussyekh setelah keluar dari tahanan Nippon?” tanya Kiai
 Saifuddin Zuhri mengawali obrolan dengan Kiai Wahid Hasyim. 

Kiai Wahid Hasyim menjelaskan bahwa kesehatan ayahnya justru semakin membaik. Bahkan salah satu perumus dasar negara Indonesia itu mengabarkan bahwa ayahnya selama di penjara mampu mengkhatamkan Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhori berkali-kali. “Alhamdulillah, kesehatannya justru semakin membaik. Selama dalam penjara, Hadlratussyekh bisa mengkhatamkan Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhori berkali-kali,” terang Kiai Wahid kepada Saifuddin Zuhri.

    Dalam kesempatan tersebut, Kiai Wahid menjelaskan bahwa Jepang telah melakukan politik kompensasi terhadap Hadlratussyekh Hasyim Asy’ari. Kiai Wahid memahami beberapa alasan Jepang dalam melakukan langkah tersebut selain diplomasi handal dari Kiai Wahab dan dirinya untuk membebaskan Rais Akbar NU tersebut. Kiai Wahid menguraikan, politik kompensasi itu entah karena kedudukan perang Nippon yang mulai terdesak oleh serangan-serangan sekutu terutama Amerika, entah karena salah langkah dalam menghadapi umat Islam, entah karena mengalami tekanan batin terkait informasi yang salah tentang Hadlratussyekh, entah karena yang lainnya.  Politik kompensasi yang dimaksud ialah Hadlratussyekh ditunjuk oleh Jepang untuk menjadi Shumubucho, Kepala Jawatan Agama yang sebelumnya dijabat oleh seorang Jepang, Kolonel Horie. Kiai Wahid menerangkan bahwa Hadlratussyekh telah melakukan langkah bijaksana dengan menerima kompensasi tersebut. Karena jika menolaknya, bisa dianggap oleh Nippon sebagai sikap tak mau kerja sama. Jangan dilupakan, Hadlratussyekh Hasyim Asy’ari baru saja mengalami penderitaan selama lima bulan di penjara.  Namun jabatan tersebut secara operasional diserahkan kepada Kiai Wahid karena faktor usia dan kesibukan mengajar Hadlratussykeh di Tebuireng yang tidak memungkinkannya untuk bolak-balik Tebuireng-Jakarta. 

2. KH. Mahfudz Shiddiq
    
    Nama KH Mahfudz Shiddiq tak pernah luntur dalam kertas sejarah pendirian NU. Kiai Mahfudz, sapaan akrabnya, merupakan sosok yang fenomenal. Bayangkan di usianya yang cukup muda, 30 tahun, ia sudah menjadi Ketua PBNU. Itu terjadi setelah KH Hasyim Asy’ari meminta Kiai Mahfudz untuk mengomandani PBNU dalam Muktamar NU di Malang tahun 1937.
    Namun proses penunjukan Kiai Mahfuz sebagai Ketua PBNU, tidak mulus-mulus amat. Sebab, permintaan gurunya tersebut ditolak dengan alasan dirinya terlalu muda, sehingga merasa kurang pantas untuk menyandang jabatan setinggi itu . Padahal masih banyak kiai yang lebih senior dibanding dirinya, dan lebih pantas menerima amanah itu.   Namun KH Hasyim Asy’ri tak kehilangan akal. Ia lalu menghubungi ayahnya (KH Muhammad shiddiq) di Jember.   “Maka atas perintah orang tuanya dan permintaan gurunya, Kiai Mahfudz bersedia menerima amanah sebagai Ketua PBNU,” ucap salah seorang cucu jauhnya, Gus Ahmad Gholban Aunir Rohman saat menyambut kedatangan rombongan Ziarah PWNU Jawa Timur di makam KH Mahfudz Shiddiq, Sabtu (7/3) malam.  
    Kiai Mahfudz yang lahir di Jember tahun 1907 itu, memang pernah nyantri kepada KH Hasyim Asy’ari di Jombang, setelah sebelumnya belajar kepada ayahnya sendiri, KH Muhammad Shiddiq. Kiai Mahfudz akhirnya belajar ke Makkah.   Kendati masih muda, Kiai Mahfudz cukup bertanggung jawab dalam mengemban tugas sebagai Ketua PBNU. Ia rela pindah ke Surabya dengan mengotrak rumah kecil di daerah Ampel untuk memudahkan dirinya menjalankan kewajibannya secara maksimal.   Saat memimpin PBNU, Kiai Mahfudz berhasil menerbitkan majalah NU yang beredar di Jawa, Madura hingga Lampung Selatan. Ia juga menulis buku Pedoman Tabligh dan buku tentang Ijtihad dan Taqlid sebagai pegangan warga NU ketika menghadapi kaum yang sering menyalahkan amalan NU.

    Kiai Mahfudz juga dikenal sebagai pemberani. Saat Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dan memerintahkan supaya rakyat Indonesia meghormati matahari dengan cara membungkukkan badan, KH Hasyim Asy’ari dan Kiai Mahfudz terang-terangan melawan perintah itu. Akibatnya, kedua tokoh tersebut, dimasukan ke dalam penjara. Tak ayal, keduanya mendapat siksaan yang cukup parah di ruang yang pengap tersebut.   Sampai-sampai tangan kanan KH Hasyim Asy’ari tidak bisa bergerak sesaat. Siksaan kepada Kiai Mahfudz yang masih muda lebih kejam dan berat. Saat keluar dari penjara, kondisi Kiai Mahfudz dalam keadaan sakit yang teramat parah. Dan itulah yang kemudian menyebabkannya meninggal dunia tahun 1944. Ketika itu usianya 37 tahun.   “Beliau wafat dengan membawa luka-luka siksaan tentara Jepang,” jelasnya.   Menurut Gus Gholban, KH Mustofa Bisri pernah bercerita bahwa ketika Indonesia merdeka pada Agustus tahun 1945, beberapa bulan setelah Kiai Mahfudz wafat, KH Hasyim Asy’ari menangis tersedu-sedu mengingat betapa pedihnya siksaan Jepang kepada santrinya itu.   “Namun ketika Indonesia merdeka KH Mahfudz Shiddiq tidak bisa merasakan manisnya kemerdekaan,” pungkas Gus Gholban menirukan ucapan KH Mustofa Bisri.


Selasa, 02 Maret 2021

Tokoh Pendiri Nahdlatul Ulama (1)

 

Tokoh-Tokoh Pendiri Nahdlatul Ulama

Sebagai warga NU, kita sudah seharusnya mengetahui siapa saja tokoh-tokoh pendiri NU bukan.

Berikut ini kami jelaskan biografi tokoh-tokoh pendiri NU selengkapnya serta kontribusinya terhadap salah satu organisasi terbesar di Indoneisa.

K.H. Hasyim Asy’ari, Tokoh Penting Berdirinya NU

MerahPutih

K.H Hasyim Asy’ari merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia yang ditetapkan langsung oleh peresiden pertama suekarno tahun 1964.

Beliau putra dari Kyai Asy’ari dan Ibu Halimah sebagai anak ke-3 dari 11 bersaudara.

Beliau juga merupakan kakek dari salah satu presiden Indonesia, yaitu K.H Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan nama Gusdur.

Beliau mempunyai empat orang istri dari keturunan para Ulama Indonesia, yang bernama, Khadijah, Nafiqah, Nafisah, dan Masrurah.

Dari hasil pernikahannya itu, beliau dikaruniai 15 orang anak, diantaranya:

  1. Wahid Hasyim.
  2. Muhammad Ya’kub.
  3. Mashrurah.
  4. Abdul Hakim.
  5. Azzah.
  6. Ubaidillah.
  7. Khoiriyyah.
  8. Abdul Karim.
  9. Fatimah.
  10. Khadijah.
  11. Aisyah.
  12. Hannan.
  13. Abdullah.
  14. Muhammad Yusuf.
  15. Abdul Qodir.

Beliau lahir di desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur pada tanggal 14 Februari 1871 tepatnya tanggal 21 juli 1947.

Beliau wafat pada tanggal 25 Juli 1947 dan dikebumikan di Tebuireng, Jombang.

Semasa hidupnya, KH Hasyim Asy’ari dikenal sebagai orang yang cerdas, maka tak heran jika di usianya yang masih 13 tahun, beliau sudah bisa memahami kitab-kitab klasik yang diajarkan oleh sang ayah yaitu Kyai Asy’ari.

Di usianya tersebut, beliau juga dipercaya untuk membantu ayahnya mengajar santri-santri di Pondok Pesantren Jombang.

Setelah beberapa tahun berselang, Hasyim Asy’ari muda mulai pergi belajar mencari ilmu ke beberapa Pondok Pesantren di Indonesia.

Dan salah satu guru besar beliau adalah Kyai Kholil Bangkalan, Madura.

Selain mondok di beberapa pesantren di Indonesia, beliau juga pernah menempuh pendidikan di luar negeri seperti di kota Makkah, Arab Saudi.

Di sana, beliau di bimbing langsung oleh Guru Besar Kyai Mahfudh At-tirmisi yang juga mengajarkan ilmu talqin tarekat Qadiriah Wa Naqsabandiah.

Kontribusi K.H Hasyim Asy’ari Sebagai Tokoh Pendiri NU

Perjuangan beliau dalam mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama dan Nusantara tentu tidaklah mudah, beliau menghabiskan waktu serta perjalanan yang cukup panjang dalam perjuangannya.

Dengan berbagai pemahaman yang berbeda, pertimbangan-pertimbangan, serta menunggu izin dari guru besarnya yang ada di Bangkalan, Madura (Kyai Kholil Bangkalan), merupakan salah satu faktor yang menjadi tertundanya pendirian Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Setelah beliau menerima isyarat dari santri yang diutus oleh Kyai Kholil Bangkalan yang juga merupakan salah satu jawaban dari istikharahnya beliau, akhirnya pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) Jam’iyyah Nahdlatul Ulama resmi didirikan.

Sebagai tokoh pendiri NU dan juga merupakan Rais Akbar NU di tahun 1926 sampai 1947, kontribusi KH Hayim Asy’ari sangat dirasakan oleh seluruh Nahdhliyyin.

Dan pada saat muktamar NU tahun 1930, kobstribusi beliau terhadap NU dibuktikan dengan tulisannya tentang Anggaran Dasar NU yang dikenal dengan Qannun al-Asaasii Jami’iyat Nahdlatul Ulama.

Dalam kitab tersebut dijelaskan beberapa hal terkait undang-undang dasar organisasi NU dalam hal mempersatukan umat islam di Indonesia.

Adapun ringkasan dari Anggaran Dasar NU tersebut, meliputi tiga hal utama yang menjadi catatan penting, antara lain:

  1. Saling mengenal satu sama lain.
  2. Adanya kemauan ingin bersatu.
  3. Mempunyai sifat saling mengasihi, bersimpati, dan toleransi.

Pemikiran-pemikiran beliau kemudian dituangkan dalam wadah organisasi NU, yang bertujuan untuk memperkuat Ukhuwah Islamiyah antar organisasi.

Mengutamakan saling toleransi, menghilangkan sifat fanatisme, serta menolak paham-paham radikalisme yang berniat memecah belah bangsa, agama serta negara.

Kontribusi beliau terhadap NU, tidak lain adalah untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia tampa harus menghilangkan prinsip dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Beliau adalah ulamak yang mempunyai sifat patriotisme dan nasionalisme yang religius.

Dengan wadah organisasi NU, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan sebuah fatwa untuk perjuangan membela dan mempertahankan kemerdekaan NKRI.

Fatwa tersebut juga merupakan Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada tanggal 22 oktober 1945 di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.

Dalam fatwa Resolusi Jihad tersebut, setidaknya ada tiga hal penting, yaitu:

  • Hukum melawan penjajah demi membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah suatu kewajiban (Fardlu’ain) bagi setiap umat Islam baik laki-laki maupun perempuan dalam radius 90 km.
  • Tingkatan derajat dalam berjihad melawan penjajah merupakan jihad fisabilillah, dan bagi para pejuang yang gugur dalam melawan penjajah termasuk mati syahid.
  • Dan jika ada salah seorang dari bangsa ini yang mengkhianati negara serta, maka sama halnya dia telah menjadi kaki tangan penjajah (penghianat), dan bagi mereka wajib hukumnya untuk dibunuh.

Biografi K.H Abdul Wahab Hasbullah (Katib NU Tahun 1926 dan Rais Aam NU di tahun 1947-1971)

Biografi K.H Abdul Wahab Hasbullah, Tokoh pendiri NUNU Online

K.H Abdul Wahab Hasbullah merupakan salah seorang dari sekian banyak Ulama yang ikut serta menghadiri acara saat peresmian organisasi Nahdlatul Ulama di Surabaya (31 Januari 1926).

Beliau merupakan putra dari salah seorang ulama besar pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, di Jombang, Jawa Timur, yaitu KH Hasbullah Said.

Sementara ibunya bernama Nyai Latifah dan cicitnya bernama Rizky Fadlullah.

Beliau mempunyai adik perempuan bernama Nur Khadijah yang kemudian menikah dengan salah seorang kerabat dekatnya, yakni KH Bisri Syansuri.

Mereka berdua dipertemukan dengan cara perjodohan lalu dinikahkan di kota Makkah, Arab Saudi.

Abdul Wahab Hasbullah sejak masih muda sudah banyak mengembara guna mendalami ilmu-ilmu agama Islam di beberapa Pondok Pesantren terkemuka di Indonesia, diantaranya adalah:

  1. Pondok Pesantren Langitan Tuban.
  2. Pondok Pesantren Mojosari Nganjuk.
  3. Pondok Pesantren Tawangsari Sepanjang.
  4. Pondok Pesantren asuhan KH Kholil Bangkalan Madura.
  5. Pondok Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan KH Hasyim Asy’ari.

Kontribusi K.H Abdul Wahab Hasbullah Sebagai Salah Seorang Tokoh Pendiri NU

Beliau juga merupakan salah satu tokoh pendiri NU selain Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari yang mana perannya sangat penting ketika organisasi NU mulai diresmikan.

Beliau memiliki pemikiran yang modern namun religius sehingga seringkali dalam setiap acara organisasi, beliau pun selalu ikut berkontribusi untuk mengembangkannya.

Pada saat oganisasi Nahdlatul Ulama akan didirikan, KH Abd Wahab Hasbullah bersama dengan tokoh-tokoh lainnya berusaha untuk menghimpun Ulama-ulama pesantren di seluruh Nusantara agar dapat menghadiri peresmian NU skala Nasional.

Dengan kontribusi beliau yang cukup besar terhadap NU, maka tak heran jika beliau dijuluki sebagai bapak pendiri NU.

Bahkan, ketika masa perjuangan NU melawan penjajah jepang, ternyata KH Abdul Wahab turun langsung menjadi panglima Laskar Mujahidin.

Bersama adik iparnya yaknik KH Bisri Syansuri pada tahun 1926, beliau merumuskan hasil pemikirannya dengan membentuk Tim Komite Hijaz.

Organisasi ini sifatnya sementara, karena tujuannya hanya untuk memperjuangkan hak-hak dalam beribadah di Tanah Suci Makkah tanpa ada larangan bermadzhab.

Selain itu, beliau juga menjadi salah seorang pencetus dasar-dasar kepemimpinan organisasi NU menjadi dua badan, yaitu Syuriah dan Tanfidziah sebagai salah satu cara untuk menyatukan kalangan Tua dan Muda.

KH Abdul Wahab Hasbullah wafat diusianya yang ke 85 tahun pada tanggal 29 desember 1971 di Jombang, Jawa Timur.

Dan untuk menghormati sumua pengorbana dan perjuangan beliau dalam membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), akhirnya Presiden Joko Widodo menganugrahkan gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 7 november 2014.

 Presensi Kehadiran

 

 

 

NU dan perkembangan Faham Keagamaan

 

Dalam khittah Nahdlatul Ulama hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo dalam bab Dasar-Dasar Paham Keagamaan Nahdlatul Ulama disebutkan tiga hal berikut.

1.     Nahdlatul Ulama mendasarkan paham keagamaan pada sumber ajaran Islam: Alqur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.

2.     Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya di atas, Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan madzhab:

1.     1)  Di bidang aqidah, Nahdlatul Ulama mengikuti ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Manshur Al-Maturidi.

2.     2)  Di bidang fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan (madzhab) salah satu dari madzhab Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy­Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.

3.     3)  Di bidang tasawuf, mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali serta imam-imam yang lain.

3.     Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian (berpendirian) bahwa Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Paham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-nilai baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia, seperti suku maupun bangsa. Paham Nahdlatul Ulama adalah melestarikan semua nilai-nilai unggul kelompok dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.5

Paham keagamaan dalam NU terdapat dua aspek dalam madzhab. Pertama, metode yang dipakai oleh para mujtahid dalam merumuskan hukum Islam (istinbath). Kedua, hasil dari penerapan metode istinbath tersebut. Nahdlatul Ulama memformulasikan keduanya sebagai metode pemecahan hukum yang berlaku di kalangan nahdliyin. Dari sinilah ada yang disebut dengan madzhab qauli dan madzhab manhaji.

1.     Madzhab Qauli

Menurut madzhab ini, pendapat keagamaan ulama yang teridentitas sebagai ulama Aswaja dikutip secara utuh qaulnya dari kitab mu’tabar dalam madzhab, seperti
mengutip dari kitab Al-Iqtishad

fi al-I’tiqad karangan al-Ghazali, atau al-Umm karya asy­Syafi’i. Agar terjaga keutuhan paham madzab sunni harus terhindarkan pengutipan pendapat dari kitab yang bermadzhab lain.

2.     Madzhab Manhaji
Ketika merespon suatu masalah kasuistik dipandang perlu menyertakan dalil nash syar’i berupa kutipan ayat al-Qur’an, nukilan matan sunnah atau hadis, untuk mewujudkan citra muhafadzah, maka kerjanya sebagai berikut:

1.     Nash al-Qur’an yang dikutip dari mushaf usmani. Tafsiran pun harus berasal dari kitab-kitab tafsir yang mu’tabar.

2.     Penukilan hadis harus berasal dari kitab-kitab standar.

3.     Pengutipan ijma’ perlu memisahkan kategori ijma’ shahabi yang diakui tertinggi mutu kehujjahannya dari ijma’ mujtahidin. Sumber pengutipan sebaiknya mengacu pada kitab karya mujtahid muharrir madzhab, seperti Imam Nawawi dan lain- lain. 

Presensi Kehadiran 

 

 

 

Runtuhnya Dinasti Umayyah

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain: 1. Sistem p...