1.3 Peran NU Pada Masa Kemerdekaan
Pada tanggal 7 September 1944Jepang mengalami kekalahan perangAsia Timur, sehingga pemerintah Jepang akan memberikankemerdekaan bagi Indonesia. Untukitu dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI). BPUPKI berangggotakan 62orang yang diantaranya adalah tokohNU (K.H. Wahid Hasyim dan K.H.Masykur). Materi pokok dalam diskusi-diskusiBPUPKI ialah tentang dasar danbentuk Negara. Begitu rumitnyapembahasan tentang dasar danfalsafah Negara maka disepakatidibentuk “Panitia Sembilan”. Dalam panitia kecil ini NU diwakili oleh K.H.Wahid Hasyim, hasilnya disepakatipada dasar Negara mengenai“Ketuhanan” ditambah dengankalimat “Dengan kewajibanmenjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya”. Keputusan ini dikenal dengan “Piagam Jakarta”. Sehari setelah Indonesia merdeka,Moh Hatta memanggil empat tokohmuslim untuk menanggapi usulankeberatan masyarkat non muslimtentang dimuatnya Piagam Jakartadalam pembukaan UUD 1945. Demi menjaga keutuhan dan kesatuanbangsa, K.H. Wahid Hasyimmengusulkan agar Piagam Jakartadiganti dengan “Ketuhanan yangMaha Esa”. Kata “Esa” berarti keesaanTuhan (Tauhid) yang ada hanya dalam agama Islam, dan usul iniditerima.
1.4 Peran NU Pada Masa Mempertahankan Kemerdekaan
Pada 16 September 1945 tentara Belanda (NICA) tiba kembali di Indonesia dengan tujuan ingin kembali menguasai Indonesia. Melihat ancaman tersebut, NU segera mengundang para utusan dan pengurus seluruh Jawa dan Madura dalam sidang Pleno Pengurus Besar pada 22 Oktober 1945. Pada rapat tersebut dikeluarkan “Resolusi Jihad” yang secara garis besar berisi : Kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah wajib dibela dan diselamatkan. Musuh RI, terutama Belanda pasti akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia. Umat Islam terutama warga NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia. Kewajiban Jihad tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban bagisetiap muslim (Hukumnya fardlu ‘Ain). Resolusi Jihad ini benar-benar menjadi inspirasi bagi berkobarnya semangat juang Arek-Arek Surabaya dalam peristiwa 10 November 1945 yang dikenal dengan”Hari Pahlawan”.
1.5 Peran NU Pada Masa Orde Lama
Pada periode 1960-1966 NU tampil menjadi kekuatan yang melawan komunisme, hal ini dilakukan dengan membentuk beberapa organisasi, seperti : Banser (Barisan Ansor SerbaGuna), Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim), Pertanu (Persatuan Petani NU), dan lain-lain. Pada tanggal 5 Oktober1965 NU menuntut pembubaran PKI. Sebagai salah satu sikap perjuangan NU melawan pemerintahan kolonial Belanda adalah menolak berpartispasi dalam wajib militer, mendirikan partai politik untuk melawan Belanda, mengadakan perang gerilya, menuntut adanya pemilihan umum untuk memilih presiden, dan menolak kedatangan Jepang.
NU dalam setiap penyelenggaraan pemilu menjadi “Gadis Molek” yang diperebutkan semua kekuataan politik sejak Orde Lama sampai sekarang. NU mulai berpolitik sejak bergabung dengan entitas organisasi masyarakat keislaman lain dengan membentuk Masyumi yang diketuai oleh K.H. Wahid Hasyim. NU menjadi partai pada pemilu 1955.
Prestasi yang disandang NU, diantaranya: Pertama, penyelenggaraan Pemilu pertama diserahkan kepada sebuah panitia Pemilu yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil partai politik. Jadi, tidak dilaksanakan oleh pemerintah. Hal yang demikian dikenang dan dicatat oleh sejarah sebagai Pemilu yang diselenggarakan berdasarkan policy Mendagri Mr. Soenarjo (dari NU). Pada Pemilu ini, NU meraih 45 kursi di parlemen (DPR). Kedua, lahirnya Peraturan Pemerintah 10: membatasi aktifitas ekonomi para pengusaha asing serta bertujuan memproteksi dan mendorong agar para pengusaha pribumi dapat berkembang. Peraturan Pemerintah ini lahir pada saat Departemen Perdagangan dipimpin oleh Drs. Rahmat Mulyoamiseno (NU). Ketiga, penggagasan berdirinya masjid Istiqlal oleh K.H. A. Wahid Hasyim (Menteri Agama saat itu) dan disetujui Presiden Soekarno. Adapun pelaksanaannya direalisasikan pada masa Menteri Agama K.H. M. Ilyas (NU). Keempat, penggagasan pendirian IAIN oleh K.H. Wahib Wahab (Menteri Agama saat itu). Kelima, realisasi penerjemahan al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia oleh Menteri Agama Prof. K.H. Syaifuddin Zuhri (NU). Keenam, penyelenggaraan kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang diprakarsai oleh Menteri Agama K.H. M. Dahlan (NU), yang di kemudian hari menjadi acara nasional, silaturrohmi para qori’ dan huffadz se-tanah air. Ketujuh, penggagalan terbentuknya "Kabinet Kaki Empat" (PNI-PKI-Masyumi-NU), perlawanan langsung terhadap aksi-aksi PKI disegala bidang. Ketika Prof. Dr. Hamka dihantam PKI, NU melalui media massa yang dimilikinya, yaitu surat kabar harian Duta Masyarakat (Dumas) secara terang-terangan membela Hamka. Puncak dari perlawanan NU terhadap PKI adalah gagalnya G30S PKI. NU tercatat sebagai partai politik pertama yang mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar PKI dibubarkan. Sikap tegas ini dicetuskan oleh NU pada tanggal 5 Oktober 1965 ketika masyarakat Indonesia masih bersikap ragu-ragu tentang siapa yang menjadi arsitek G30S PKI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar