Selasa, 09 Maret 2021

TOKOH NU Yang di Penjara Jepang

     Dipenjara Jepang, Hadlratussyekh Khatam Al-Qur’an dan Kitab Hadits Berkali-kali

  1. KH Hasyim Asy'ari

  Sakit dan pedihnya para pejuang Indonesia dalam menjaga martabat bangsa dari kungkungan penjajah dapat dirasakan nikmatnya oleh generasi saat ini. Bahkan kegigihan dalam mempertaruhkan jiwa dan raga patut menjadi kesadaran kolektif bahwa bangsa ini merdeka karena perjuangan keras di atas cucuran darah para pejuang sehingga rakyat Indonesia sekarang wajib menjaga hasil perjuangan para pahlawan tersebut.

    Kepedihan perjuangan untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah dirasakan betul oleh gurunya para kiai di Nusantara, Hadlratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947). Pahlawan Nasional, Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) tersebut digelandang oleh tentara Nippon (Jepang) karena alasan mengada-ada, berupaya melakukan pemberontakan. Lalu ayah KH Abdul Wahid Hasyim ini dipenjara dan mengalami siksa pedih dari tentara Jepang untuk alasan yang tidak pernah diperbuatnya. Meski mengalami beragam kekerasan di dalam penjara, kakek dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak menyurutkan sedikit pun semangat menegakkan agama Allah dengan tetap melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan mengulang hafalan hadits-hadits dalam kitab Al-Bukhori dan menolak dengan tegas agar hormat menghadap matahari sebagai sikap tunduk dan patuh kepada Kaisar Jepang, Teno Heika.

    Kisah keteguhan hati Kiai Hasyim Asy’ari dengan tetap menghafal Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhori selama dipenjara oleh Jepang diriwayatkan oleh Komandan Hizbullah wilayah Jawa Tengah, KH Saifuddin Zuhri saat berbincang dengan KH Wahid Hasyim (Berangkat dari Pesantren, 2013) dalam sebuah kesempatan sesaat setelah Kiai Hasyim Asy’ari dibebaskan oleh Jepang melalui diplomasi KH Abdul Wahab Chasbullah dan Gus Wahid sendiri. “Bagaimana kabar Hadlratussyekh setelah keluar dari tahanan Nippon?” tanya Kiai
 Saifuddin Zuhri mengawali obrolan dengan Kiai Wahid Hasyim. 

Kiai Wahid Hasyim menjelaskan bahwa kesehatan ayahnya justru semakin membaik. Bahkan salah satu perumus dasar negara Indonesia itu mengabarkan bahwa ayahnya selama di penjara mampu mengkhatamkan Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhori berkali-kali. “Alhamdulillah, kesehatannya justru semakin membaik. Selama dalam penjara, Hadlratussyekh bisa mengkhatamkan Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhori berkali-kali,” terang Kiai Wahid kepada Saifuddin Zuhri.

    Dalam kesempatan tersebut, Kiai Wahid menjelaskan bahwa Jepang telah melakukan politik kompensasi terhadap Hadlratussyekh Hasyim Asy’ari. Kiai Wahid memahami beberapa alasan Jepang dalam melakukan langkah tersebut selain diplomasi handal dari Kiai Wahab dan dirinya untuk membebaskan Rais Akbar NU tersebut. Kiai Wahid menguraikan, politik kompensasi itu entah karena kedudukan perang Nippon yang mulai terdesak oleh serangan-serangan sekutu terutama Amerika, entah karena salah langkah dalam menghadapi umat Islam, entah karena mengalami tekanan batin terkait informasi yang salah tentang Hadlratussyekh, entah karena yang lainnya.  Politik kompensasi yang dimaksud ialah Hadlratussyekh ditunjuk oleh Jepang untuk menjadi Shumubucho, Kepala Jawatan Agama yang sebelumnya dijabat oleh seorang Jepang, Kolonel Horie. Kiai Wahid menerangkan bahwa Hadlratussyekh telah melakukan langkah bijaksana dengan menerima kompensasi tersebut. Karena jika menolaknya, bisa dianggap oleh Nippon sebagai sikap tak mau kerja sama. Jangan dilupakan, Hadlratussyekh Hasyim Asy’ari baru saja mengalami penderitaan selama lima bulan di penjara.  Namun jabatan tersebut secara operasional diserahkan kepada Kiai Wahid karena faktor usia dan kesibukan mengajar Hadlratussykeh di Tebuireng yang tidak memungkinkannya untuk bolak-balik Tebuireng-Jakarta. 

2. KH. Mahfudz Shiddiq
    
    Nama KH Mahfudz Shiddiq tak pernah luntur dalam kertas sejarah pendirian NU. Kiai Mahfudz, sapaan akrabnya, merupakan sosok yang fenomenal. Bayangkan di usianya yang cukup muda, 30 tahun, ia sudah menjadi Ketua PBNU. Itu terjadi setelah KH Hasyim Asy’ari meminta Kiai Mahfudz untuk mengomandani PBNU dalam Muktamar NU di Malang tahun 1937.
    Namun proses penunjukan Kiai Mahfuz sebagai Ketua PBNU, tidak mulus-mulus amat. Sebab, permintaan gurunya tersebut ditolak dengan alasan dirinya terlalu muda, sehingga merasa kurang pantas untuk menyandang jabatan setinggi itu . Padahal masih banyak kiai yang lebih senior dibanding dirinya, dan lebih pantas menerima amanah itu.   Namun KH Hasyim Asy’ri tak kehilangan akal. Ia lalu menghubungi ayahnya (KH Muhammad shiddiq) di Jember.   “Maka atas perintah orang tuanya dan permintaan gurunya, Kiai Mahfudz bersedia menerima amanah sebagai Ketua PBNU,” ucap salah seorang cucu jauhnya, Gus Ahmad Gholban Aunir Rohman saat menyambut kedatangan rombongan Ziarah PWNU Jawa Timur di makam KH Mahfudz Shiddiq, Sabtu (7/3) malam.  
    Kiai Mahfudz yang lahir di Jember tahun 1907 itu, memang pernah nyantri kepada KH Hasyim Asy’ari di Jombang, setelah sebelumnya belajar kepada ayahnya sendiri, KH Muhammad Shiddiq. Kiai Mahfudz akhirnya belajar ke Makkah.   Kendati masih muda, Kiai Mahfudz cukup bertanggung jawab dalam mengemban tugas sebagai Ketua PBNU. Ia rela pindah ke Surabya dengan mengotrak rumah kecil di daerah Ampel untuk memudahkan dirinya menjalankan kewajibannya secara maksimal.   Saat memimpin PBNU, Kiai Mahfudz berhasil menerbitkan majalah NU yang beredar di Jawa, Madura hingga Lampung Selatan. Ia juga menulis buku Pedoman Tabligh dan buku tentang Ijtihad dan Taqlid sebagai pegangan warga NU ketika menghadapi kaum yang sering menyalahkan amalan NU.

    Kiai Mahfudz juga dikenal sebagai pemberani. Saat Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dan memerintahkan supaya rakyat Indonesia meghormati matahari dengan cara membungkukkan badan, KH Hasyim Asy’ari dan Kiai Mahfudz terang-terangan melawan perintah itu. Akibatnya, kedua tokoh tersebut, dimasukan ke dalam penjara. Tak ayal, keduanya mendapat siksaan yang cukup parah di ruang yang pengap tersebut.   Sampai-sampai tangan kanan KH Hasyim Asy’ari tidak bisa bergerak sesaat. Siksaan kepada Kiai Mahfudz yang masih muda lebih kejam dan berat. Saat keluar dari penjara, kondisi Kiai Mahfudz dalam keadaan sakit yang teramat parah. Dan itulah yang kemudian menyebabkannya meninggal dunia tahun 1944. Ketika itu usianya 37 tahun.   “Beliau wafat dengan membawa luka-luka siksaan tentara Jepang,” jelasnya.   Menurut Gus Gholban, KH Mustofa Bisri pernah bercerita bahwa ketika Indonesia merdeka pada Agustus tahun 1945, beberapa bulan setelah Kiai Mahfudz wafat, KH Hasyim Asy’ari menangis tersedu-sedu mengingat betapa pedihnya siksaan Jepang kepada santrinya itu.   “Namun ketika Indonesia merdeka KH Mahfudz Shiddiq tidak bisa merasakan manisnya kemerdekaan,” pungkas Gus Gholban menirukan ucapan KH Mustofa Bisri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Runtuhnya Dinasti Umayyah

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain: 1. Sistem p...