PRINSIP KEGAMAAN JAMIYAH NAHDLATUL ULAMA
Nahdlatul
Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang
mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim
naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya
Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan
realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir
terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang
teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki,
Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode
Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan
syariat. Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting
untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan
kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta
merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil
membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa
prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut:
(Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)
1. Akidah.
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid’ah apalagi
kafir.
2. Syari’ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as
(sharih/qotht’i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil
yang multi-interpretatif (zhanni).
3. Tashawwuf/ Akhlak
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran
Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani
(antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu’ (antara sombong dan
rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).
4. Pergaulan antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan
unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
5. Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena
merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat,
selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan
cara yang baik.
6. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur
dengan norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima,
dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih
relevan (al-muhafazhatu ‘alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).
7. Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi
mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas,
disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.
fatimatuz zahro
BalasHapusDewi Cahyani
BalasHapusArdilla Destri Rachmadhanna
BalasHapusVita Ratnasari
BalasHapusAndika Purnama
BalasHapus