1.6 Peran NU Pada Masa Orde Baru
Proses NU kembali ke khittah 1926 dilalui dengan lika-liku yang panjang. Gagasan itu sebenarnya sudah muncul sejak muktamar NU 1962 di Solo. Sesudah itu dalam muktamar Bandung 1967 dan Surabaya 1971 tidak terdengar lagi isu tentang itu. Namun tidak berarti substansinya sama sekali hilang dari perhatian para pemimpin NU. Tarik menarik antara keinginan untuk menjadikan NU sebagai organisasi politik dan keinginan untuk tetap sebagai organisasi sosial keagamaan terjadi sejak lama. Muktamar Menes 1938 ketika membahas perlunya NU menempatkan wakil dalam Dewan Rakyat (Volksraad) atas usul cabang Indramayu, ditolak sidang dengan perbandingan 39, 11, dan 3. Ketika NU memutuskan keluar dari Masyumi dan membentuk dirinya menjadi partai politik, muktamar Palembang 1952 memutuskan menerima dengan perbandingan suara 61, 9, dan 7. Hal ini menggambarkan bahwa tarik menarik itu tidak berjalan mulus.
Ketika muktamar Menes berkeinginan untukmenjadi partai politik didukung 11 cabang dan 3 abstain. Dalam muktamar Palembang ada 9 cabang yang tidak menyetujui usul keluar dari Masyumi membentuk diri sebagai partai politik, 7 cabang abstain. Muktamar NU 1979 di Semarang mengisyaratkan langkah yang setengah hati. Sementara ingin memperkuat sisi jam'iyah dengan pengembangan program dasar lima tahun yang sarat dengan cita-cita luhur, tetapi tak hendak melepaskan dunia politik yang sudah digeluti sejak lama. Ibarat langkah dengan kaki sebelah, sementara kaki yang sebelah lagi ingin tetap menginjak dunia lain. Langkah yang serba pincang dan setangah hati itu bukanlah tanpa alasan. Sejarah masa lain NU dan tradisi keagamaan yang dicoba untuk dikembangkan sarat dengan pesan-pesan yang berdimensi politik. Referensi fikih yang digumuli NU tidak sepi dari pesan itu. Mulai dari bab qada (kekuasaan hukum), imamah (kekuasaan politik), imarah al-jaisy (kekuasaan militer), atau kitab al-buqhat (bab tentang pemberontakan) dan lain sebagainya, mengandung implikasi pesan politik. Semua ini pada akhirnya berpengaruh langsung maupun tidak langsung, terhadap sikap dan perilaku NU selanjutnya.
Setelah NU memasuki dunia politik lebih formal awal kemerdekaan ketika tergabung bersama organisasi Islam lain dalam Masyumi, lalu dunia politik menjadi bagian penting dari kehidupan NU. Jika pada mulanya persinggungan itu masih dilapisi jarak untuk dapat menggeluti aspek sosial keagamaan, lambat laun keterlibatan dengan politik itu semakin intens, aspek politik akhirnya menyeret NU meninggalkan kegiatan utamanya sebagai organisasi sosial keagamaan. Langkah NU setelah berubah menjadi partai politik untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya justru mengakibatkan terabaikannya sifat pelayanan sosialnya.Kepentingan-kepentingan grup dan perorangan untuk memperebutkan jabatan atau kesempatan politik tidak terbendung lagi. Akibat kerumitan penataan distribusi politik terus mendesak, maka kegiatan-kegiatan non politik tidak terperhatikan lagi. Fenomena ini terlihat dalam muktamar NU 1971 di Surabaya. Menghadapi gagasan pemerintah untuk menyederhanakan sistem kepartaian, NU ingin tetap bertahan sebagai partai politik dan memberi kemungkinan membentuk wadah baru untuk menampung kegiatan-kegiatan nonpolitik. Ini menandai salah satu dari ketidakmampuan NU menyelesaikan garapan bidang-bidang nonpolitik karena ikatannya dengan aspek politik begitu kuatnya. Oleh karena itu ketika NU dipaksa untuk melakukan pilihan, oleh kebijaksanaan politik Orde Baru, antara tetap menjadi partai politik atau mengubah dirinya kembali menjadi jam'iyah, keputusan muktamar Surabaya ingin tetap menjadi partai politik dan menyerahkan garapan bidang nonpolitik kepada badan baru yang direkomendasikan pembentukannya. Namun keputusan itu masih disertai alternatif jika kondisi obyektif tidak memungkinkan lagi NU bertahan, muktamar menyerahkan untuk mengambil keputusan lain kepada PBNU. Benar saja realitas yang terjadi setelah kemenangan Golkar yang begitu mencolok dalam pemilihan umum 1971, gagasan penyederhanaan sistem kepartaian menjadi prioritas rencana pemerintah selanjutnya. Mulanya dengan anjuran pengelompokan partai dalam DPR selanjutnya menuju fusi antar partai. Setelah fusi itu berjalan maka undang-undang yang mengatur organisasi kepartaian ditetapkan dengan hanya mengakui dua partai politik dan satu golongan karya. Setelah fusi itu maka partai-partai Islam yang berfusi sepakat menyalurkan aspirasi dan perjuangan politik mereka melalui partai hasil fusi itu dan selanjutnya organisasi mereka mengkhususkan kegiatan dalam bidang nonpolitik. Namun tidak lantas dengan demikian persoalan-persoalan partai hasil fusi itu selesai dengan sendirinya. Konflik kepentingan antar unsur yang berfusi terus membayangi perjalanan partai itu. Menjelang akhir sepuluh tahun pertama usia partai hasil fusi, konflik terbuka pun pecah, antar unsur bekas partai yang berfusi memperebutkan kepentingan-kepentingan mereka. Akibatnya perolehan suara dalam pemilihan umum 1982 menurun dan bertambah anjlok pada pemilihan berikutnya 1987. Fusi partai-partai Islam tahun 1973 memberi keuntungan kepada NU sebab fusi itu dilakukan ketika NU berhasil memperoleh suara yang mengungguli jauh partai-partai Islam lainnya. Dengan posisi 58 kursi dari seluruh kursi partai Islam 94 kursi, berarti NU mengantongi 61,7% suara gabungan partai-partai Islam itu. Akan tetapi menjelang pemilihan umum tahun 1982, posisi itu mulai digugat unsur MI dalam PPP. Konflik pun akhirnya pecah secara terbuka. Dengan dukungan pejabat-pejabat pemerintah gugatan MI berhasil mengurangi posisi perimbangan kekuatan NU tidak lagi dominan seperti sediakala. Kekecewaan yang dialami NU akibat konflik dengan unsur lain dalam PPPberkembang menjadi salah satu faktor pendorong yang mempercepat langkah NU menuju khittah 1926.
Pada masa ini dinamika NU dalam bernegara sangat terasa, dari mendukung hingga oposisi terhadap pemerintahan. Namun NU lebih konsen karena kembali ke Khittah sebagai ormas bukan lagi partai politik. Sehingga NU lebih leluasa dalam mengambil sikap dan gerakannya terhadap pembangunan NKRI.
Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966).Menyusul tekad membangun dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor. Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta.Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkannya Komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia.
Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulahrasa tak puas dan kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orde lama ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orde baru telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G30SPKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII dengan demikian diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.
Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967.hadir dalam kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; K.H. Dr. Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PPGP Ansor) dan K.H.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI).
Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan.
Dalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sebagai berikut: (1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d) mempertahankan eksistensi Partijwezen; (2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain; (3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.
Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai situasi politik yang berkembang saat itu.Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi perkembangan berikutnya.Memang begitulah yang dilakukan kongres.Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut. Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada yang bermotif Politis, Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif.Sedangkan yang bermotif teror, GPAnsor harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya. Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula.Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksesnya operasi tersebut.Ansor ikut operasi itu karenaoperasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan strategis.
Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapmenolak kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar ilmiah.Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul authoritarianism. Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan.Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan otoriter.
1.7 Peran NU Pada Masa Reformasi
Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama (NU) untuk melakukan pembenahan diri.Selama rezim orde baru berkuasa, NU cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat itu.Ruang gerak NU pada masa orde baru juga dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya.
Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka.NU yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal dengan Refleksi Reformasi.
Refleksi reformasi ini berisi delapan butir pernyataan sikap dari PBNU, yaitu :
1. Nahdlatul Ulama memiliki tanggung jawab moral untuk turut menjaga agar reformasi berjalan kea rah yang lebih tepat.
2. Rekonsiliasi nasional jika dilaksanakan harus ditujukan untuk merajut kembali ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan dirancang kearah penataan sistem kebangsaan dan kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan berkeadilan.
3. Reformasi jangan sampai berhenti di tengah jalan, sehingga dapat menjangkau terbentuknya sebuah tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4. Penyampaian berbagai gagasan yang dikemukakan hendaknya dilakukan dengan hati-hati, penuh kearifan dan didasari komitmen bersama serta dihindari adanya pemaksaan kehendak.
5. Kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi secara arif dan bertanggung jawab.
6. TNI harus berdiri di atas semua golongan.
7. Pemberantasan KKN harus dilakukan secara serius dan tidak hanya dilakukan pada kelompok tertentu.
8. Praktik monopoli yang ada di Indonesia harus segera dibasmi tuntas dalam setiap praktik ekonomi.
Pada perkembangan selanjutnya, PBNU kembali mengeluarkan himbauan yang isinya menyerukan agar agenda reformasi diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan dan jajaran Nahdlatul Ulama. Himbauan itu dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1998 yang ditandatangani oleh K.H. M. Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. K.H. Said Agil Siraj, M.A., Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni dan Drs. Ahmad Bagdja.
Menjelang Nopember 1998, para mahasiswa yang merupakan elemen paling penting dalam gerakan reformasi, makin menjadi tidak sabar dengan tokoh-tokoh nasional yang enggan bergerak cepat dalam gerakan reformasi ini. Pada tanggal 10 Nopember 1998 para mahasiswa merancang sebuah pertemuan dengan mengundang K.H.Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Prof.Dr. Amien Rais dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini dipilih di Ciganjur (rumah K.H. Abdurrahman Wahid), karena kondisi kesehatan K.H. Abdurrahman Wahid saat itu belum sembuh total dari serangan stroke yang menimpanya.
Keempat tokoh nasional pro reformasi tersebut membentuk sebuah kelompok yang sering disebut Kelompok Ciganjur. Kelompok ini kemudian mengeluarkan sebuah deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Ciganjur, yang berisi delapan tuntutan reformasi, yaitu :
1.Menghimbau kepada semua pihak agar tetap menjunjung tinggi kesatuan dan pesatuan bangsa.
2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan memberdayakan lembaga perwakilan sebagai penjelmaan aspirasi rakyat.
3. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sebagai asas perjuangan di dalam proses pembangunan bangsa.
4. Pelaksanaan reformasi harus diletakkan dalam perspektif kepentingan yang akan datang.
5. Segera dilaksanakan pemilu oleh pelaksana independent.
6. Penghapusan dwi fungsi ABRI secara bertahap, paling lambat 6 tahun dari tanggal pernyataan ini dibacakan.
7. Menghapus dan mengusut pelaku KKN, yang diawali dari kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya.
8. Mendesak untuk segera dibubarkannya PAM Swakarsa
Gerakan reformasi harus dijalankan dengan cara-cara yang damai dan menolak segala bentuk tindakan kekerasan atas nama reformasi. Di berbagai wilayah Indonesia digelar istighosah yang bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar bangsa Indonesia dapat segera terbebas dari krisis yang sedang melanda.Istighosah terbesar yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan di Jakarta pada bulan Juli 1999, yang dihadiri tokoh-tokoh nasional.Dengan penyelengaraan istighosah, diharapkan dapat mempererat silaturahim dan mengurangi ketegangan antar komponen bangsa.
1.8 Peran NU Pasca Reformasi
Dengan tidak lagi menjadi parpol, NU sebagai organisasi kemasyarakatan bisa lebih leluasa mengembangkan diri, memfokuskan pada visi dan misinya di bidang-bidang sosial, kemasyarakatan, keagamaan dan pendidikan. Makin banyak tantangan yang dihadapi, massa NU yang banyak bermukim di pedesaan terutama di Jatim dan sebagian Jawa Tengah serta beberapa daerah mulai intensif mendapatkan perhatian dari pimpinan NU. Sebagian besar nahdliyin di pedesaan tak lepas dari belitan kemiskinan, namun organisasi-organisasi otonom NU melakukan langkah-langkah lebih konkrit untuk berupaya mengatasi kemiskinan, karena bila dibiarkan terus-menerus lama-kelamaan akan menggerus massa NU. Dikhawatirkan akan banyak umat nahdliyn semakin renggang hubungan silaturahim, fungsional dan strukturnya dengan NU.
Organisasi-organisasi otonom NU adalah Muslimat NU, GP Ansor, Fatayat, IPNU dan IPPNU, juga kalangan mahasiwanya yang tergabung dalam PMII. Organisasi-organisasi otonom itu sebenarnya merupakan potensi cukup besar yang bila dikelola maksimal akan menjadikan pohon NU lebih subur, rindang dan akarnya juga semakin kuat.
Angkatan Muda NU semakin banyak yang menjadi intelektual dalam berbagai bidang, bahkan mulai ada yang sudah diperhitungkan dalam forum nasional maupun internasional. Pada 1985 mereka mendirikan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU. Selain itu, sebetulnya NU memiliki kelebihan dari warganya kalangan bawah yang menjadi wiraswasta meskipun sebagian besar masih dalam skala usaha kecil. Tapi di sini sudah ada modal dasar yakni jiwa wiraswasta mereka. Bila mereka terus dibina oleh NU dengan dukungan pemerintah, mereka tidak akan sulit untuk ditingkatkan menjadi wiraswasta tingkat menengah dan kemudian tinggi.
Misi NU yang tak kurang beratnya adalah bagaimana mengantisipasi gerakan-gerakan radikal dari kalangan Islam sendiri, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Mengantisipasi hal itu pada 2012 NU membentuk Laskar Aswaja untuk merespons keresahan atas radikalisme berbasis agama.
Pegangan yang dipakai NU sejauh ini tetap mempertahankan paham ahlus sunnah wal jama'ah (aswaja) yang disesuaikan dengan kultur masyarakat dalam bingkai kebangsaan dan NKRI. Menangkal gerakan radikal lewat gerakan dakwah dan secara fisik bila dalam keadaan terpaksa dengan Laskar Aswaja. Aswaja bila ditilik pengertiannya adalah aliran yang dianut siapa pun umat Islam yang berpegang teguh pada Al Qur'an dan sunnah nabi. Dengan pengertian itu maka sebenarnya NU bukanlah satu-satunya organisasi Islam di Indonesia yang menganut paham Aswaja. Secara akidah NU menempatkan dirinya di jalan tengah, tidak mengakomodasi ekstrimisme baik radikal maupun liberal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar