Secara umum khittah NU sebenarnya sudah ada dan melekat bersamaan dengan disahkannya khittah NU, K.H. Ahmad Siddiq adalah perintis rumusan khittah. Dan beliau menulis risalah yang berjudul khittah Nahdliyyah pada tahun 1979. Sebelumnya memang sudah muncul gagasan untuk kembali ke khittah NU 1926, sebagai salah satu jalan keluar untuk mengatasi berbagai masalah yang selalu muncul di NU (terutama problem politik). Tetapi belum ada gambaran yang jelas tentang apa dan bagaimana khittah NU 1926 itu.
Risalah tersebut oleh berbagai kalangan di dalam NU pada beberapa kesempatan di sela kritis dan di diskusikan dengan mendalam. Hal itu terjadi antara lain pada munas alim ulama NU tahun 1984 di situbondo, dan puncaknya kemudian di matangkan di muktamar NU ke- 27 di situbondo pada bulan Desember 1984, dengan hasil final berupa besar untuk kembali khittah 1926.
NU mencakup
tujuan pendirian NU, gerakan-gerakan NU dan lain-lain. Perbincangan Khittah NU
sering dikaitkan dengan urusan politik. Sementara, cakupan Khittah NU 1926 pada
dasarnya tidak hanya menerangkan ihwal hubungan organisasi NU dengan politik,
tetapi juga hal-hal mendasar terkait soal ibadah kepada Allah Swt dan
kemasyarakatan. Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama
warga NU, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan
lain-lain.
Pada tahun
1984 itu, NU menyelenggarakan Muktamar ke-27 di Situbondo. Muktamarin berhasil
memformulasikan garis-garis perjuangan NU yang sudah lama ada ke dalam
formulasi yang disebut sebagai “Khittah NU”.
Sebagai
formulasi yang kemudian menjadi rumusan “Khittah NU”, maka tahun 1984 bukan
tahun kelahirannya. Kelahiran khittah NU sebagai garis, nilai-nilai, dan jalan
perjuangan, ada bersamaan dengan tradisi dan nilai-nilai di pesantren dan
masyarakat NU. Keberadaannya jauh sebelum tahun 1984, bahkan juga sebelum NU
berdiri sekalipun dalam bentuk tradisi turun temurun dan melekat secara oral
dan akhlak.
Pada Muktamar
Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini ditandai
keluarnya NU dari PPP. Dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan
sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926.
Selain
penggunaan kata “Khittah NU”, kadang-kadang juga digunakan kata “Khittah 26”.
Kata “khittah 26” ini merujuk pada garis, nilai-nilai, dan model perjuangan NU
yang dipondasikan pada tahun 1926 ketika NU didirikan. Pondasi perjuangan NU
tahun 1926 adalah sebagai gerakan sosial-keagamaan. Hanya saja, garis
perjuangan sosial keagamaan ini, mengalami perubahan ketika NU bergerak di
bidang politik praktis.
Pengalaman NU
ke dalam politik praktis, terjadi ketika NU menjadi partai politik sendiri
sejak 1952. Setelah itu NU melebur ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan)
sejak 5 Januari 1973. Ketika NU menjadi partai politik, banyak kritik yang
muncul dari kalangan NU sendiri, yang salah satunya menyebutkan bahwa
“elit-elit politik” dianggap tidak banyak mengurus umat. Kritik-kritik ini
berujung pada perjuangan dan perlunya kembali kepada khittah.
Perjuangan
kembali pada khittah sudah diusahakan sejak akhir tahun 1950-an. Contohnya,
pada Muktamar NU ke-22 di Jakarta tanggal 13-18 Desember 1959, seorang wakil
cabang NU Mojokerto bernama KH Achyat Chalimi telah menyuarakannya. KH. Achyat
mengingatkan peranan partai politik NU telah hilang, diganti perorangan, hingga
partai sebagi alat sudah kehilangan kekuatannya. Kiai Achyat mengusulkan agar
NU kembali ke khittah pada tahun 1926. Hanya saja, usul itu tidak diterima
sebagai keputusan muktamar.
Kelompok “pro
jam`iyah” pada tahun 1960 menggunakan warta berkala Syuriyah untuk menyuarakan
perlunya NU kembali ke khittah. Gagasan agar NU kembali ke khittah juga
disuarakan kembali pada Muktamar NU ke-23 tahun 1962 di Solo. Akan tetapi gagasan
tersebut banyak ditentang oleh muktamirin yang memenangkan NU sebagai partai
politik.
Pada Muktamar
NU ke-25 di Surabaya tahun 1971, gagasan mengembalikan NU ke khittah muncul
kembali dalam khutbah iftitâh Rais Am, KH. Abdul Wahab Hasbullah. Saat itu Mbah
Wahab mengajak muktamirin untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebagai gerakan
sosial-keagamaan. Akan tetapi kehendak muktamirin, lagi-lagi, tetap
mempertahankan NU sebagai partai politik.
Gagasan
kembali ke khittah semakin mendapat tempat pada Muktamar NU ke-26 di Semarang
(5-11 Juni 1979). Meski Muktamirin masih mempertahankan posisi NU sebagai
bagian dari partai politik (di dalam PPP), tetapi muktamirin menyetujui program
yang bertujuan menghayati makna dan seruan kembali ke khittah 26. Di Semarang ini
pula tulisan KH. Achmad Shidiq tentang Khittah Nahdliyah telah dibaca
aktivis-aktivis NU dan ikut mempopulerkan kata khittah.
Gagasan
kembali ke Khittah NU semakin nyata setelah Munas Alim Ulama di Kaliurang tahun
1981 dan di Situbondo tahun 1983. Pada Munas Alim Ulama di Situbono itu bahkan
dibentuk “Komisi Pemulihan Khittah NU”. Komisi ini dipimpin KH Chamid Widjaya,
sekretaris HM Said Budairi, dan wakil sekretaris H. Anwar Nurris. Komisi ini
berhasil menyepakati “Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila,” kedudukan ulama
di dalamnya, hubungan NU dan politik, dan makna Khittah NU 1926. Hasil-hasil
dari Munas Alim Ulama ini kemudian ditetapkan sebagi hasil Muktamar NU ke-27 di
Situbondo tahun 1984 setelah melalui diskusi dan perdebatan yang intens. Muktamar
NU di Situbondo inilah yang berhasil memformulasikan rumusan Khittah NU.
Formulasi
rumusan Khittah NU di Situbondo ini sangat monumental karena menegaskan
kembalinya NU sebagai jam`iyah diniyah-ijtima`iyah. Rumusan ini mencakup
pengertian Khittah NU, dasar-dasar paham keagamaan NU, sikap kemasyarakatan NU,
perilaku yang dibentuk oleh dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU,
ihtiar-ihtiar yang dilakukan NU, fungsi ulama di dalam jam`iyah, dan hubungan
NU dengan bangsa.
Dalam
formulasi itu, ditegaskan pula bahwa jam`iyah secara organistoris tidak terikat
dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatn manapun. Sementara dalam
paham keagamaan, NU menegaskan sebagai penganut Ahlussunnah Waljama`ah dengan
mendasarkan pahamnya pada sumber Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dalam
menafsirkan sumber-sumber itu, NU menganut pendekatan madzhab dengan mengikuti
madzhab Ahlussunnah Waljama`ah (Aswaja) di bidang akidah, fiqih dan tasawuf.
1.
Di bidang akidah, NU mengikuti dan mengakui paham Aswaja
yang dipelopori Imam Abu Hasan al-Asy`ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
2.
Di bidang fiqih NU mengakui madzhab empat sebagai paham
Aswaja yang masih bertahan sampai saat ini.
3.
Di bidang tasawuf NU mengikuti imam al-Ghazali, Junaid
al-Baghdadi, dan imam-imam lain. Dalam penerapan nilai-nilai Aswaja, Khittah NU
menjelaskan bahwa paham keagamana NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang
baik dan sudah ada. NU dengan tegas menyebutkan tidak bermaksud menghapus
nilai-nilai tersebut. Dari sini aspek
lokalitas NU sangat jelas dan ditekankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar