Rabu, 22 Juli 2020

TAKLID


TAKLID
  Pendahuluan
Ijtihad merupakan bidang keilmuan yang membahas tentang problematika zaman yang tidak ada dalam Al- Qur’an dan Hadits. Keilmuan ini berfungsi sebagai rekomendasi solusi problem yang tengah berkembang di masyarakat. Dan setiap ijtihad antara satu fuqaha dengan fuqaha yang lain berbeda pendapat. Sehingga banyak lahir ilmu – ilmu fiqih dalam sejarah dari zaman setelah Rasulullah saw wafat hingga pertengahan ke 4 H.
Setelah pertengahan ke 4 H, kegiatan ber ijtihad mengalami perkembangan tidak hanya untuk masalah agama tetapi digunakan juga dalam hal politik dan kekuasaan, sehingga hal tersebut menimbulkan ijtihad dilakukan hanya semata untuk perantara menyembunyikan kedok kebebasan syari’at.
Melihat kondisi inilah maka para ulama mengumumkan untuk menutup pintu ijtihad, untuk menghindari penyalahgunaan penggunaan ijtihad yang seharusnya. Dari peristiwa ini timbul stratifikasi untuk para mujtahid (orang yang boleh berijtihad), yaitu: mujtahid mutlak, mujtahid masa’il, mujtahid madzhab, dan datang muqallid (orang yang bertaqlid).
Taklid adalah perbuatan seseorang yang mengikuti sebuah hukum tanpa mengetahui kebenaran hukum tersebut. Karena timbul banyak kontroversi mengenai taqlid. Maka disepakati taqlid tidak diperbolehkan oleh generasi salaf kalangan nabi, tabi’in, para imam mujtahid, dan para tabi’it. Tetapi setelah perkembangan adanya masa mazhab-mazhab jadi diperbolehkan untuk bertaqlid. Lebih dari taqlid lebih dianjurkan untuk melakukan ittiba’ yaitu mengikuti hukum atau fatwa dengan mengetahui kebenaran dari fatwa atau hukum tersebut.
B.       Taklid
1.        Pengertian
Secara etimologi, kata "taqlid" berasal dari masdar "qallada" yang memiliki makna kalung yang dipasangkan kepada orang lain tanpa disadari orang yang bersangkutan itu sendiri.[1]
Sedangkan terjemahan secara terminologi, terdapat beberapa istilah mengenai taqlid[2], antara lain:
a)    Sebuah perilaku yang mengikuti orang lain baik dari segi lisan maupun perbuatannya tanpa keraguan sedikitpun dengan tidak adanya penelusuran lebih lanjut terhadap dalilnya terlebih dahulu.

b)   Membenarkan sebuah gagasan orang lain secara bulat tanpa disaring menggunakan dalil-dalilnya dan tidak memafhumi kapasitas dari dalil-dalil tersebut.

c)    Mengamalkan gagasan orang lain tanpa memahami dasar dalilnya.
           
            Serasi dengan beberapa pengertian taqlid yang telah dijabarkan diatas, terdapat hal-hal yang tidak dapat digolongkan ke dalam taqlid[3], antara lain:

a)    Berbuat sesuatu yang dilandaskan pada al-Qur'an dan al-Hadits.
b)   Berbuat sesuatu yang dilandaskan pada ijma'.
c)    Vonis seorang hakim atas suatu perkara dengan adanya saksi yang adil.

            Pendapat para ulama Ushul mengenai taqlid[4]adalah "menerima sebuah gagasan seseorang tanpa mengetahui darimana asal muasalnya ataupun landasan dari gagasan seseorang tersebut". Sedangkan para ulama lain seperti al-Ghazali, asy-Syaukani dan beberapa ulama lainnya mengartikan taqlid sendiri juga memiliki inti dan maksud yang tidak berbeda dengan yang disampaikan oleh para ulama Ushul tadi.
           
Muhammad Rasyid Ridla berpendapat mengenai definisi taqlid yang terdapat dalam Tafsir al-Manar[5], berikut perkataannya yaitu: "mengamalkan gagasan seseorang yang dipandang memiliki integritas tinggi mengenai hukum agama Islam tanpa menelusuri lebih dulu kebenarannya, kebaikannya serta manfaat atau tidaknya dari gagasan hukum yang disampaikan orang tersebut".
Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون...َ
"...maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahuinya..."(Q.S Al-Anbiya':7).
           
Dari sekian banyaknya definisi dan penjelasan diatas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai pengertian taqlid yaitu adalah suatu perbuatan atau perilaku untuk mengikuti pendapat ataupun gagasan seseorang secara mentah-mentah tanpa keraguan sedikitpun dan tidak adanya penelusuran terlebih dahulu akan kredibilitas maupun kualitas gagasan tersebut dari segi dalil-dalil landasan yang mengikutinya.

2.        Hukum Bertaqlid

Sejalan dengan pembahasan yang sebagaimana telah disinggung di awal tadi, seseorang yang belum memiliki predikat posisi mujtahid, diharuskan untuk bermakmum kepada salah satu ulama yang telah memiliki predikat sebagai mujtahid muthlaq. Para ulama yang telah menyandang predikat tersebut antara lain adalah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali.[6]
Sebagian dari ulama ushul fiqih berpendapat bahwa sebagian besar telah bermufakat bahwasanya tidak ada lagi seorangpun yang telah berhasil menggapai predikat sebagai mujtahid muthlaq tersebut. "Seorang yang menyandang predikat sebagai mujtahid muthlaq ataupun mujtahid mustaqil sudah tidak dapat ditemukan kembali semenjak usainya periode Imam Syafi'i”, menurut Ibnu Hajar.[7]
Terdapat firman Allah yang mengharuskan seseorang untuk bertaqlid kepada seorang mujtahid[8], berikut firman Allah dalam al-Qur'an:

وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ...
"...dan kalaulah mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan mampu) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)..." (Q.S An-Nisa' : 83).
Sementara itu hanyalah seseorang yang memiliki kompetensi dalam berijtihad saja yang diperbolehkan melakukan istinbath (menetapkan kesimpulan).
3.        Tingkatan Taqlid atau Muqallid
Taqlid maupun Muqallid disini juga memiliki beberapa tingkatan[9], berikut penjabarannya antara lain :
a)    Bertaqlid keseluruhan (taqlid al-mahdli)
Sebagaimana yang mayoritas orang awam lakukan, mengenai seluruh hukum Islam, mereka bertaqlid kepada seorang atau imam mujtahid.

b)   Bertaqlid dalam beberapa bidang hukum saja
     Sebagaimana para ulama yang memiliki kompetensi untuk berijtihad dalam bidang madzhab, bidang fatwa dan bidang tarjih. Mereka didudukkan sebagai seorang mujtahid hanya dalam beberapa segi bidang saja yang dikuasainya, selain beberapa bidang tersebut para ulama tadi kembali didudukkan hanya sebagai muqallid saja.

c)    Bertaqlid dalam perkara-perkara istinbath
     Sebagaimana banyak dilakukan oleh para mujtahid muntasib.

4.        Syarat Taqlid
Seseorang yang akan bertaqlid kepada suatu madzhab, diwajibkan untuk memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:[10]
a)    Diwajibkan memahami secara keseluruhan berbagai ketentuan imamnya dalam perkara yang diikuti, seperti halnya syarat dan kewajibannya.
b)   Contoh: Jika akan mengikuti madzhab Hanafi dalam perkara saling bersentuhannya kulit dengan lawan jenis yang bukan mahramnya tidak menghilangkan suatu wudhu', maka dia juga harus mengikuti berbagai ketentuan yang diwajibkan oleh Imam Hanafi dalam perkara wudhu', seperti diusapnya kepala sampai ubun-ubun dan lain sebagainya.

c)    Tidak bertaqlid seusai dilakukannya perkara yang akan ditaqlidkan tersebut.
d)   Contoh: Umar merupakan seorang muslim yang menganut madzhab Syafi'i. Pada suatu siang di bulan Ramadhan, Umar teringat bahwa pada malam hari sebelumnya ia tidak mengucapkan niat puasa, padahal dalam madzhab Syafi'i diwajibkan untuk menunaikan niat puasa pada malam harinya. Kemudian pada siang hari tersebut, Umar memutuskan untuk berpindah haluan ke madzhab Maliki yang notabene tidak mewajibkan berniat puasa pada malam harinya. Bertaqlid semacam ini memiliki hukum khilaf (boleh dilakukan apabila tidak ada suatu kesengajaan dan belum mengetahui hukum madzhab yang dianutnya).

e)    Tidak diperkenankan memilih pendapat yang mudah-mudah saja. Maksudnya, orang yang akan bertaqlid tidak diperbolehkan memilih pendapat yang mudah-mudah saja dari berbagai madzhab.

f)    Bertaqlid haruslah kepada seorang imam yang telah menyandang predikat sebagai mujtahid muthlaq, seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali. Diperolehkan juga bertaqlid kepada seorang imam yang menyandang predikat sebagai mujtahid muntasib (mujtahid yang masih bertautan dengan sebuah madzhab tertentu), seperti Imam Rafi'i, Nawawi, Ramli dan Ibnu Hajar, tetapi dikecualikan jika pendapat mereka sangatlah dhaif sekali.

g)    Tidak diperkenankan menggabungkan dua pendapat imam dalam satu persoalan hukum (qadhiyah), yang akan berujung tidak disahkannya oleh masing-masing imam.
h)   Contoh: Dalam berwudhu, Khalid hanya mengusap sebagian kepalanya saja layaknya hukum yang terdapat dalam Imam Syafii. Sejalan kemudian kulit si Khalid bersentuhan dengan seseorang lawan jenis yang bukan mahramnya tanpa syahwat, Khalid merasa wudhunya tidaklah batal karena dalam hal ini ia mengikuti Imam Maliki. Setelah itu Khalid tetap melaksanakan ibadah shalat. Taqlid semacam ini tidaklah dibenarkan, karena dalam satu persoalan hukum yang sama yaitu shalat, si Khalid telah melanggar hukum persentuhan kulit berdasarkan madzhab Imam Syafi'i, begitu juga dia juga melanggar hukum wudhu yang ditetapkan Imam Maliki yang mengharuskan menguap seluruh bagian rambut. Jadi, menurut pandangan kedua madzhab, shalat yang ditunaikan oleh Khalid tidaklah sah.




4 komentar:

Runtuhnya Dinasti Umayyah

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain: 1. Sistem p...