TAKLID
Pendahuluan
Ijtihad merupakan bidang keilmuan yang membahas tentang
problematika zaman yang tidak ada dalam Al- Qur’an dan Hadits. Keilmuan ini
berfungsi sebagai rekomendasi solusi problem yang tengah berkembang di
masyarakat. Dan setiap ijtihad antara satu fuqaha dengan fuqaha yang lain
berbeda pendapat. Sehingga banyak lahir ilmu – ilmu fiqih dalam sejarah dari
zaman setelah Rasulullah saw wafat hingga pertengahan ke 4 H.
Setelah pertengahan ke 4 H, kegiatan ber ijtihad mengalami
perkembangan tidak hanya untuk masalah agama tetapi digunakan juga dalam hal
politik dan kekuasaan, sehingga hal tersebut menimbulkan ijtihad dilakukan
hanya semata untuk perantara menyembunyikan kedok kebebasan syari’at.
Melihat kondisi inilah maka para ulama mengumumkan untuk menutup
pintu ijtihad, untuk menghindari penyalahgunaan penggunaan ijtihad yang
seharusnya. Dari peristiwa ini timbul stratifikasi untuk para mujtahid (orang
yang boleh berijtihad), yaitu: mujtahid mutlak, mujtahid masa’il, mujtahid
madzhab, dan datang muqallid (orang yang bertaqlid).
Taklid adalah perbuatan seseorang yang mengikuti sebuah hukum tanpa
mengetahui kebenaran hukum tersebut. Karena timbul banyak kontroversi mengenai
taqlid. Maka disepakati taqlid tidak diperbolehkan oleh generasi salaf kalangan
nabi, tabi’in, para imam mujtahid, dan para tabi’it. Tetapi setelah
perkembangan adanya masa mazhab-mazhab jadi diperbolehkan untuk bertaqlid.
Lebih dari taqlid lebih dianjurkan untuk melakukan ittiba’ yaitu mengikuti
hukum atau fatwa dengan mengetahui kebenaran dari fatwa atau hukum tersebut.
B.
Taklid
1.
Pengertian
Secara etimologi,
kata "taqlid" berasal dari masdar "qallada"
yang memiliki makna kalung yang dipasangkan kepada orang lain tanpa disadari
orang yang bersangkutan itu sendiri.[1]
Sedangkan
terjemahan secara terminologi, terdapat beberapa istilah mengenai taqlid[2],
antara lain:
a)
Sebuah perilaku yang mengikuti orang lain baik dari
segi lisan maupun perbuatannya tanpa keraguan sedikitpun dengan tidak adanya
penelusuran lebih lanjut terhadap dalilnya terlebih dahulu.
b)
Membenarkan sebuah gagasan orang lain secara bulat
tanpa disaring menggunakan dalil-dalilnya dan tidak memafhumi kapasitas dari
dalil-dalil tersebut.
c)
Mengamalkan gagasan orang lain tanpa memahami dasar
dalilnya.
Serasi
dengan beberapa pengertian taqlid yang telah dijabarkan diatas, terdapat
hal-hal yang tidak dapat digolongkan ke dalam taqlid[3],
antara lain:
a)
Berbuat sesuatu yang dilandaskan pada al-Qur'an dan
al-Hadits.
b)
Berbuat sesuatu yang dilandaskan pada ijma'.
c)
Vonis seorang hakim atas suatu perkara dengan adanya
saksi yang adil.
Pendapat
para ulama Ushul mengenai taqlid[4]adalah
"menerima sebuah gagasan seseorang tanpa mengetahui darimana asal
muasalnya ataupun landasan dari gagasan seseorang tersebut". Sedangkan
para ulama lain seperti al-Ghazali, asy-Syaukani dan beberapa ulama lainnya
mengartikan taqlid sendiri juga memiliki inti dan maksud yang tidak
berbeda dengan yang disampaikan oleh para ulama Ushul tadi.
Muhammad
Rasyid Ridla berpendapat mengenai definisi taqlid yang terdapat dalam
Tafsir al-Manar[5],
berikut perkataannya yaitu: "mengamalkan gagasan seseorang yang dipandang memiliki
integritas tinggi mengenai hukum agama Islam tanpa menelusuri lebih dulu
kebenarannya, kebaikannya serta manfaat atau tidaknya dari gagasan hukum yang
disampaikan orang tersebut".
Mengenai hal ini, Allah SWT
berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون...َ
"...maka tanyakanlah
olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahuinya..."(Q.S
Al-Anbiya':7).
Dari
sekian banyaknya definisi dan penjelasan diatas maka dapat ditarik sebuah
kesimpulan mengenai pengertian taqlid yaitu adalah suatu perbuatan atau
perilaku untuk mengikuti pendapat ataupun gagasan seseorang secara
mentah-mentah tanpa keraguan sedikitpun dan tidak adanya penelusuran terlebih
dahulu akan kredibilitas maupun kualitas gagasan tersebut dari segi dalil-dalil
landasan yang mengikutinya.
2.
Hukum Bertaqlid
Sejalan
dengan pembahasan yang sebagaimana telah disinggung di awal tadi, seseorang
yang belum memiliki predikat posisi mujtahid, diharuskan untuk bermakmum
kepada salah satu ulama yang telah memiliki predikat sebagai mujtahid
muthlaq. Para ulama yang telah menyandang predikat tersebut antara lain
adalah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali.[6]
Sebagian
dari ulama ushul fiqih berpendapat bahwa sebagian besar telah bermufakat
bahwasanya tidak ada lagi seorangpun yang telah berhasil menggapai predikat
sebagai mujtahid muthlaq tersebut. "Seorang yang menyandang
predikat sebagai mujtahid muthlaq ataupun mujtahid mustaqil sudah
tidak dapat ditemukan kembali semenjak usainya periode Imam Syafi'i”, menurut
Ibnu Hajar.[7]
Terdapat
firman Allah yang mengharuskan seseorang untuk bertaqlid kepada seorang mujtahid[8],
berikut firman Allah dalam al-Qur'an:
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ
أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ...
"...dan kalaulah mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan mampu) mengetahuinya dari mereka
(Rasul dan Ulil Amri)..." (Q.S An-Nisa' : 83).
Sementara itu
hanyalah seseorang yang memiliki kompetensi dalam berijtihad saja yang
diperbolehkan melakukan istinbath (menetapkan kesimpulan).
3.
Tingkatan Taqlid atau Muqallid
Taqlid maupun
Muqallid disini juga memiliki beberapa tingkatan[9],
berikut penjabarannya antara lain :
a)
Bertaqlid keseluruhan (taqlid al-mahdli)
Sebagaimana
yang mayoritas orang awam lakukan, mengenai seluruh hukum Islam, mereka
bertaqlid kepada seorang atau imam mujtahid.
b)
Bertaqlid dalam beberapa bidang hukum saja
Sebagaimana
para ulama yang memiliki kompetensi untuk berijtihad dalam bidang madzhab,
bidang fatwa dan bidang tarjih. Mereka didudukkan sebagai seorang mujtahid
hanya dalam beberapa segi bidang saja yang dikuasainya, selain beberapa bidang
tersebut para ulama tadi kembali didudukkan hanya sebagai muqallid saja.
c)
Bertaqlid dalam perkara-perkara istinbath
Sebagaimana
banyak dilakukan oleh para mujtahid muntasib.
4.
Syarat Taqlid
Seseorang yang akan
bertaqlid kepada suatu madzhab, diwajibkan untuk memenuhi beberapa ketentuan
sebagai berikut:[10]
a)
Diwajibkan memahami secara keseluruhan berbagai
ketentuan imamnya dalam perkara yang diikuti, seperti halnya syarat dan
kewajibannya.
b)
Contoh: Jika akan mengikuti madzhab Hanafi dalam
perkara saling bersentuhannya kulit dengan lawan jenis yang bukan mahramnya
tidak menghilangkan suatu wudhu', maka dia juga harus mengikuti berbagai
ketentuan yang diwajibkan oleh Imam Hanafi dalam perkara wudhu', seperti
diusapnya kepala sampai ubun-ubun dan lain sebagainya.
c)
Tidak bertaqlid seusai dilakukannya perkara yang
akan ditaqlidkan tersebut.
d)
Contoh: Umar merupakan seorang muslim yang menganut
madzhab Syafi'i. Pada suatu siang di bulan Ramadhan, Umar teringat bahwa pada
malam hari sebelumnya ia tidak mengucapkan niat puasa, padahal dalam madzhab
Syafi'i diwajibkan untuk menunaikan niat puasa pada malam harinya. Kemudian
pada siang hari tersebut, Umar memutuskan untuk berpindah haluan ke madzhab
Maliki yang notabene tidak mewajibkan berniat puasa pada malam harinya.
Bertaqlid semacam ini memiliki hukum khilaf (boleh dilakukan apabila
tidak ada suatu kesengajaan dan belum mengetahui hukum madzhab yang dianutnya).
e)
Tidak diperkenankan memilih pendapat yang
mudah-mudah saja. Maksudnya, orang yang akan bertaqlid tidak diperbolehkan
memilih pendapat yang mudah-mudah saja dari berbagai madzhab.
f)
Bertaqlid haruslah kepada seorang imam yang telah
menyandang predikat sebagai mujtahid muthlaq, seperti Imam Hanafi, Imam
Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali. Diperolehkan juga bertaqlid kepada
seorang imam yang menyandang predikat sebagai mujtahid muntasib
(mujtahid yang masih bertautan dengan sebuah madzhab tertentu), seperti Imam
Rafi'i, Nawawi, Ramli dan Ibnu Hajar, tetapi dikecualikan jika pendapat mereka
sangatlah dhaif sekali.
g)
Tidak diperkenankan menggabungkan dua pendapat imam
dalam satu persoalan hukum (qadhiyah), yang akan berujung tidak
disahkannya oleh masing-masing imam.
h)
Contoh: Dalam berwudhu, Khalid hanya mengusap
sebagian kepalanya saja layaknya hukum yang terdapat dalam Imam Syafii. Sejalan
kemudian kulit si Khalid bersentuhan dengan seseorang lawan jenis yang bukan
mahramnya tanpa syahwat, Khalid merasa wudhunya tidaklah batal karena dalam hal
ini ia mengikuti Imam Maliki. Setelah itu Khalid tetap melaksanakan ibadah
shalat. Taqlid semacam ini tidaklah dibenarkan, karena dalam satu persoalan
hukum yang sama yaitu shalat, si Khalid telah melanggar hukum persentuhan kulit
berdasarkan madzhab Imam Syafi'i, begitu juga dia juga melanggar hukum wudhu
yang ditetapkan Imam Maliki yang mengharuskan menguap seluruh bagian rambut.
Jadi, menurut pandangan kedua madzhab, shalat yang ditunaikan oleh Khalid
tidaklah sah.
fatimatuz zahro
BalasHapusAndika PURNAMA
BalasHapusVita Ratnasari 11c
BalasHapusAndika Purnama
BalasHapus