Selasa, 23 Februari 2021

NU Dalam Arus perkembangan


Kiprah Nahdlatul Ulama (NU) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia tak perlu di sangsikan lagi. NU adalah salah satu penopang utama berdirinya Negara Indonesia, NU adalah salah satu pemegang saham utama republik ini dan tidak pernah sekalipun berkhianat kepada bangsa dan negara. Komitmen NU terhadap ke-Indonesian sejak berdiri 1926 hingga sekarang juga tidak pernah berubah, Pancasila dan NKRI adalah final bagi NU. Dalam perjalanannya tantangan yang di hadapi NU tidaklah ringan, tantangan itu bisa berasal dari dalam maupun luar NU. Salah satu tantangan dari luar adalah semakin massif dan agresifnya “kelompok islam murni” dalam menekan NU baik dari sisi ritual ibadah dan pandangan keagamaan NU. Namun demikian menurut saya tantangan terbesar dewasa ini adalah tantangan dari internal NU terutama perubahan sosial- budaya masyarakat/jama’ah NU. Perubahan NU secara garis besar perubahan sosial-budaya di masyarakat NU bisa dilihat pada gambar berikut. Arus perubahan ini paling signifikan didorong oleh setidaknya dua faktor yaitu migrasi besar-besaran masyarakat NU dari desa ke kota dan semakin meningkat dan beragamnya pendidikan masyarakat NU. Selain Itu semakin meningkatnya akses informasi terutama melalui media televisi dan internet juga semakin memperkaya cakrawala berpikir masyarakat NU. Implikasi dari perubahan masyarakat ini pada akhirnya juga berpengaruh terhadap soliditas jejaring NU. Kita tahu bahwa inti kekuatan NU itu ada di pesantren dan Kyai nya. Semakin rasional dan independennya masyarakat NU maka “ketergantungan” mereka terhadap pesantren dan kyai juga cenderung akan semakin melemah. Bila dahulu pesantren dan kiai adalah tempat bertanya masyarakat tentang segala hal, maka ada kecenderungan pesantren dan kyai kini “hanya” sebagai tempat belajar agama. Lalu apakah kita menjadi pesimis terhadap NU?, ternyata tidak, kita patut optimis dan berbangga ternyata tren dua tahun belakangan ini menunjukkan arus sebaliknya, setidaknya tiga bukti menunjukkan hal ini. Pertama, “Serangan” Balik Ideologi Aswaja, ditengah gencarnya “kelompok islam murni” yang mendesakkan pemahaman mereka ke masyarakat ternyata mampu dipatahkan oleh para kyai dan aktivis NU, penguasaan ilmu yang mendalam dan kaya adalah kunci kekuatan NU dalam menjaga ideologi Aswaja 

NU dan Perkembangan Faham Keagamaan

    NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur Al Maturidi dalam bidang teologi/Tauhid/ketuhanan. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: Imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: Imam Hanafi, Imam Maliki,dan Imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Syeikh Juneid al-Bagdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU. 

NU dan Perkembangan Budaya

Salah satu ciri yang paling dasar dari perilaku warga NU adalah moderat (tawassut). Sikap ini tidak hanya mampu menjaga warga NU dari keterperosokan kepada perilaku keagamaan yang ekstrim, tetapi mampu melihat dan menilai fenomena kehidupan secara proposional.

Kehidupan tidak bisa dipisahkan dari budaya. Itu karena budaya adalah kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan memperbaiki kualitas hidupnya. Karena itu, salah satu karakter dasar dari setiap budaya adalah pebubahan yang terus-menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri. Dan karena diciptakan oleh manusia, maka budaya juga bersifat beragama sebagaimana keragaman manusia.

Menghadapi budaya dan tradisi, ajaran Aswaja yang dikembangkan oleh NU mengacu pada salah satu kaidah fikih:

اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَالْأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْأَصْلَحِ

Artinya: ”Mempertahankan kebaikan warisan masa lalu dan mengkreasi hal baru yang lebih baik.”

Kaidah ini menuntun untuk memperlakukan fenomena kehidupan secara berimbang dan proposional. Seseorang harus melakukan upaya penyelarasan unsur-unsur budaya yang dianggap menyimpang dari pokok ajaran Islam.

Hal ini penting ditekankan, karena sekalipun mungkin ditemui adanya tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran Islam, namun di dalamnya menyimpan butir-butir kebaikan, menghadapi hal ini, sikap yang arif yang melahirkan perilaku yang positif perlu dilakukan oleh warga NU sehingga budaya tetap lestari dan ajaran Islam tetap terjaga. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah tidak semua budaya jelek, banyak hal baik yang bisa diambil, karena Islam selalu menekankan; ambillah hikmah dari mana saja asalnya.

 

Artinya: “Apa yang tidak dapat diraih semuanya, tidak harus ditinggalkan semuanya.“

Contoh hal ini adalah selamatan atau kenduri yang merupakan tradisi orang Jawa yang ada sejak datangnya agama Islam. Jika kelompok lain menganggap hal ini sebagai bid’ah, maka kaum Aswaja menilainya secara proporsional. Yaitu bahwa di dalam selamatan ada unsur-unsur kebaikan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam seperti membangun tali silaturahim, merekatkan solidaritas masyarakat, menjadikan sarana bersedekah, dan mendoakan orang yang meninggal dunia. Menjalin tali silaturahim sangat dianjurkan oleh Islam sebagaimana dalam hadis Qudsi:

Artinya: “(Allah berfirman): Barang siapa yang menyambungmu (dengan silaturahim), maka Aku akan menyambungnya, dan barangsiapa yang memutusmu (dengan memutus tali silaturahim), maka Aku akan memutusnya.”

Demikian juga, bersedekah merupakan ajaran Islam pokok. Jadi, selamatan atau kenduri dan sejenisnya merupakan “racikan” beberapa ajaran Islam dengan “bumbu” budaya. Tentu saja hal ini adalah suatu metode atau seni dakwah yang sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Walaupun secara bentuk, hal ini belum pernah dipraktekkan oleh Nabi
dilakukan oleh Nabi, akan tetapi secara ajaran dan kandungannya adalah pernah dilakukan oleh Nabi. Oleh sebab itulah, perilaku ini mencerminkan bagaimana kehebatan ulama terdahulu dalam membumikan ajaran Islam di tanah Jawa ini.

Yang demikian ini pernah dilakukan oleh Walisongo. Kalau dilihat dari sejarah Islam, maka hal ini sebenarnya mengikuti apa yang pernah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad. Bagaimana beliau mengadopsi ritual pra Islam yang disesuaikan dengan ajaran Islam, seperti ibadah haji. Haji sebelumnya adalah tradisi pra Islam yang

kemudian disesuailkan dengan ajaran Islam. Nabi Muhammad tidak serta merta membuang tradisi pra Islam, akan tetapi menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Artinya, mana yang tepat menurut Islam diabadikan, dan mana menyimpang, maka dihilangkan. Nabi Muhammad tidak serta merta membuang semua tradisi pra Islam seperti haji, akan tetapi beliau merombaknya dengan ajaran Islam.

Langkah inilah yang harus dipedomi oleh warga NU dan menjadi ciri perilaku keseharian mereka sebagaimana kaidah:

 

Artinya: “Apa yang tidak dapat diraih semuanya, tidak harus tinggalkan semuanya.Warga NU jangan serta-merta menolak budaya dengan menganggap bahwa semuanya adalah syirik. Memang ada hal yang syirik dan ada yang tidak. Yang syirik dibuang dan diganti dengan yang islami dan yang baik tetap dipertahankan. Kita umpamakan satu baju yang sobek, maka cukup dijahit mana yang sobek, tidak lantas dibuang semuanya. Jika meja kita rusak, maka mana yang rusak yang diperbaiki, bukan lantas dibuang semuanya. Jika kita antipati terhadap budaya, maka budaya-budaya yang ada di masyarakat akan diambil alih oleh orang lain dan diklaim sebagai budaya mereka. Apakah tidak seharusnya umat Islam yang mengambil alih budaya tersebut dan menyesuaikannya dengan ajaran Islam? Bukan- kah dengan demikian umat Islam semakin kaya akan budaya? Untuk melihat bagaimana konsistensi Nahdlatul Ulama terhadap kebudayaan bangsa,


Presensi Kehadiran

UH Aswaja 1 Kelas XI daring


 

1 komentar:

Runtuhnya Dinasti Umayyah

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain: 1. Sistem p...