Nahdlatul
Ulama (NU) berdiri tahun 1926 adalah sebagai organisasi kemasyarakatan atau
jam’iyah, bukan partai politik, bukan institusi politik, tapi tak bisa dipungkiri
dan dihindarai bahwa sejak kelahirannya NU telah bersinggungan dengan ruang
politik.
Pada tahun 1940-1943 NU masuk MIAI yang kemudian menjadi Masyumi. Masyumi
dibentuk dimaksudkan untuk menciptakan kekuatan besar bagi umat Islam. Tahun
1945 Raisul Akbar Hadrotussyaikh KH Hasyim As’ary mengeluarkan fatwa resolusi
jihad untuk menghadapi tentara nicca belanda. Dan pada tahun-tahun berikutnya
NU juga tidak tinggal diam menghadapi PKI.
Ada satu hal yang perlu dicatat bahwa, kelahiran NU itu sendiri sebagai
respon atas munculnya Islam wahabisme atau Islam reformis yang menyatakan
dirinya sebagai kaum pambaharu Islam. Melihat sisi historis demikian maka boleh dikatakan
semenjak kelahirannya NU telah berpolitik, barulah pada tahun 1952 Muktamar NU
ke 19 di palembang, NU resmi menyatakan diri sebagai partai politik setelah
keluar dari Masyumi.
Dari pemilu 1955 sampai pemilu 1971 NU berhasil meraih suara cukup
menggembirakan, NU benar-benar bermain di arena politik, NU punya banyak wakil
di DPR, para ulama sepuh NU juga masih banyak. Sampai disini NU masih
berjaya. Barulah pada tahun 1973 NU mulai melewati masa awal perpecahan. Semua
partai Islam termasuk NU harus fusi dalam satu partai yaitu Partai Persatuan
Pembangunan(PPP). PPP tak ubahnya seperti Masyumi dulu, perselisihan
antar kelompok dalam tubuh PPP terus terjadi tak kunjung usai. Kasus yang
terjadi di PPP serupa dengan yang terjadi di Masyumi – NU selalu dimarjinalkan.
NU dalam posisi rumit, membuat partai tidak bisa, memperbaiki PPP
juga suatu hal yang sangat sulit karena PPP dan PDI saat itu merupakan boneka
orde baru. Disinilah titik awal dimulainya perpecahan warga NU, dimana
pemerintah Orba salah satu faktor utama dalam penghancuran NU. NU selanjutnya
hanya berpolitik secara moral yang sulit dipertanggungjawabkan hasilnya. NU
kemudian hanya menitipkan para kadernya di PPP, sedang NU sendiri hanya bisa
bermain diluar arena.
Pola dukung mendukung oleh NU mulai dijalankan. NU terkadang bermetamorfosa
dari hijau menjadi merah ketika Gus Dur mendekati Mega yang waktu itu kita
kenal dengan istilah Mega-Gus Dur untuk menandingi PDI Suryadi. Atau terkadang
NU berubah wujud dari hijau ke kuning ketika Gus Dur mengajak warganya untuk
mengikuti Istighotsah NU-Golkar di berbagai daerah beberapa tahun silam sebelum
reformasi.
Setelah reformasi bergulir, sepertinya ada harapan besar bagi NU
untukmengembalikan kejayaan NU dimasa silam. Walaupun demikian masih terlalu
berat jika NU menjelma menjadi partai. NU akhirnya mendirikan PKB dimana PKB
diharapkan menjadi satu-satunya partai NU yang berakses ke PBNU. NU sendiri
bukanlah partai tapi NU punya sayap politik yaitu PKB. Betapa hebat respon masyarakat
terhadap lahirnya PKB, Ini wajar saja karena warga NU benar-benar haus dengan
partai NU setelah 32 tahun NU dipinggirkan.
Namun tampaknya harapan hanya tinggal harapan, PKB yang diharapkan menjadi
sayap politik NU justru berjalan sendiri bahkan senantiasa berseberangan dengan
NU struktural. Antara PKB dan NU mulai ada tanda-tanda kurang serasi, PKB
memecat ketuanya yaitu Matori Abdul jalil yang sebenarnya NU tidak menghendaki.
Ketidakserasian NU-PKB ini diperuncing lagi ketika NU mencalonkan Hasyim Muzadi
menjadi cawapres Mega. Dengan susah payah NU menggerakkan warganya dari tingkat
PW-PC-MWC bahkan sampai ketingkat ranting untuk mengegolkan jagonya yaitu
Hasyim Muzadi menjadi Cawapres, tapi PKB saat itu justru mendukung
Wiranto-Wahid dari Golkar, diteruskan pada pilpres putaran kedua PKB
mendukung SBY-JK. Cukup sudah PKB menyodok NU saat itu. Mulai dari itu
PKB dianggap bukan lagi partai sayap politik NU karena PKB terlalu jauh
meninggalkan NU.
Carut-marut perpolitikan NU saat ini sudah sangat rumit. Musuh sudah memakai
senjata api kita masih berebut senjata bambu. Sederet pertanyaan inilah yang
mungkin akan terjawab dalam muktamar NU mendatang.
Gerakan Kultur NU
Meskipun paska
khittah 1926 NU mengkonsentrasikan kembali perjuangannya pada wilayah
sosio-kultural, namun mungkinkah NU benar-benar seratus persen netral dari
persoalan politik? Jelas tidak. Netralitas NU dari politik itu sendiri, menurut
KH Abdurrahman Wahid tidak berarti meninggalkan segala peran politik. Jumlah
anggotanya yang besar merupakan kekuatan dan kapital politik yang sangat
potensial, terutama saat mendekati momen pemilu. Sehingga meski sudah
memutuskan khittah dan kembali pada kerja kultural, NU tak mungkin bisa seratus
persen menghindar dari politik.
Namun yang
perlu ditegaskan di sini adalah peran politik yang dimainkan oleh NU bukan lagi
politik praktis yang berorientasi pada kekuasaan. Pola politik semacam ini
lebih bersifat formalistik dan struktural. Sebaliknya dalam dimensi semangat
khittah, yang lebih diprioritaskan oleh NU adalah gerakan politik kultural.
Konsep inilah yang menjadi batu loncatan dan terobosan baru bagi NU untuk
memajukan dan memberdayakan masyarkat. Sebab, orientasi kerjanya bukan lagi
memperdebatkan soal kursi kekuasaan maupun jabatan di berbagai lembaga
pemerintahan, melainkan lebih concern pada perumusan langkah dan
strategi pemberdayaan masyarakat bawah yang sebesar-besarnya. Inilah yang
pernah diserukan oleh mantan Rais Aam PBNU-1984, KH. Achmad Siddiq bahwa orang
NU lebih baik bekerja untuk memajukan masyarakat dan bukannya berusaha
mendapatkan kekuasaan.
Secara
substansial, gerakan politik kultural NU ini masih lemah, masih belum mengakar
kuat sehingga benar-benar mampu mengangkat warganya dari segala macam krisis.
Pada level praksis-operasional, komitmen dan spirit politik kultral NU itu
belum berhasil ditransformasikan sebagai sebuah sistem gerakan yang simultan
untuk menyelesaikan problem-problem riel di masyarakat. Sehingga seolah nampak
bahwa orientasi politik NU ini hingga sekarang masih lebih menjadi wacana
sosial-keagamaan, daripada menjadi perangkat kerja konkrit. Terbukti warga NU
masih banyak yang terjerat oleh persoalan kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan.
Faktor utama
yang menyebabkan politik kultural NU tersebut mandul dan lemah sebagai media
gerakan transformasi sosial adalah karena rendahnya mentalitas dan moralitas
para oknum yang ada di struktur NU.Oleh para pengurusnya, NU masih sering
dimanfaatkan sebagai alat untuk menjalin akses ekonomi dan politik pribadi. Hal
ini terbukti dengan masih dimanfaatkannya lembaga NU untuk mendukung calon
tertentu dalam pemilu maupun pilkada di berbagai daerah daripada sebagai alat
kontrol kekuasaan.Hal ini menjadikan agenda-agenda sosio-kultural dan
keagamaan, yang merupakan bagian dari gerakan politik kultural NU, tidak
berjalan Sebab, NU
hanya menjadi sarang manusia-manusia oportunistik. Manusia macam ini, hanya
memanfaatkan NU untuk mencari penghidupan pribadi tetapi tidak bersedia
berkorban untuk kehidupan NU. Budaya oportunistik yang sering menghinggapi hati
dan pikiran para pengurus NU tersebut, merupakan batu sandungan utama yang
menyebabkan politik kultural NU belum bisa diimplementasikan secara optimal.
Gerakan politik kultural NU bukannya semakin bangkit, tetapi semakin melemah,
karena kekuatan NU digerogoti oleh budaya oportunistik yang menguasai struktur
NU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar