Senin, 07 September 2020

Tarjih

Pengertian Tarjih

Secara etimologi perkataan tarjih adalah masdar dari kata Arab “rajjaha ” ( ﺭﺟﺢ) ” yurajjihu” ( ﻳﺮﺟﺢ ), ” tarjihan ” ( ﺗﺮﺟﻴﺤﺎ ), yang berarti ”menguatkan”. 

Sedangkan secara terminologi, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh.

Menururut ulama Hanafiyah:

ﺍﻇﻬﺎﺭ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﻷﺣﺪ ﺍﻟﻤﺘﻤﺎﺛﻠﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺧﺮﺑﻤﺎ ﻻﻳﺴﺘﻘﻞ 

Artinya:

“Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.”

Menurut golongan ini, dalil yang bertentangan harus sederajat dalam kualitasnya, seperti pertentangan ayat dengan ayat. Dalil tambahan yang menjadi pendukungnya harus berkaitan dengan salah satu dalil yang didukungnya.

Dalam kitab al-Ta`rifat karya `Ali bin Muhammad al-Jurjani yaitu:

ﺍﻟﺘﺮﺟﻴﺢ ﻫﻮ ﺍﺛﺒﺎﺕ ﻣﺮﺗﺒﺔ ﻓﻰ ﺍﺣﺪﺍﻟﺪﻟﻴﻠﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻻﺧﺮ

Artinya :

“Tarjih adalah menetapkan atau menguatkan salah satu dalil dengan lainnya.” [1]

Menurut Jumhur Ulama

ﺗﻘﻮﻳﺔ ﺍﺣﺪﻯ ﺍﻻﻣﺎﺭﺗﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺧﺮﻯ ﻟﻴﻌﻤﻞ ﺑﻬﺎ 

Artinya:

“Menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan) berdasarkan dalil tersebut.”

Konsep tarjih muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan jalan (metode) al-jama` wa al-tawfiq ( ﺍﻟﺠﻤﻊ ﻭﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ ). Dalil yang dikuatkan disebut dengan rajih ( ﺭﺍﺟﺢ ), sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh ( ‏( ﻣﺮﺟﻮﺡ .

Dengan pengertian tersebut, jumhur mengkhususkan tarjih pada permasalahan yang zhanni. Menurut mereka tarjih tidak termasuk persoalan yang qath’i. Juga tidak termasuk antara yang qath’i dengan yang zhanni.

Para ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajih (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan) tidak perlu diamalkan. Di antara alasannya, para shahabat dalam banyak kasus telah melakukan pen- tarjih-an dan tarjih tersebut diamalkan, seperti para shahabat lebih menguatkan hadits yang dikeluarkan oleh Siti ‘Aisyah tentang kewajiban mandi apabila telah bertemu antara alat vital lelaki dan alat vital perempuan (H.R. Muslim dan Turmudzi), daripada hadits yang diterima dari Abu Hurairah, “Air itu berasal dari air”. (H.R. Ahmad Ibnu Hambal dan Ibnu Hibban).

Syarat-syarat Tarjih

Adapun mengenai syarat-syarat tarjih itu dapat disebutkan, sebagai berikut:

▪Dua dalil tersebut harus ta`arudh (kontradiksi) dan tidak ada kemungkinan untuk mengamalkan keduanya dengan cara apapun. Oleh karena itu tidak mungkin terjadi tarjih dalam dua dalil yang qath`i (pasti) karena kedua dalil ini tidak mungkin bertentangan (kontradiksi).

▪Kedua dalil yang bertentangan itu sama pantas untuk petunjuk kepada yang dimaksud.

▪Kedua dalil yang dimaksud ada petunjuk yang mewajibkan beramal salah satu keduanya dan meninggalkan yang lainnya. [2]

Berdasarkan persyaratan tarjih di atas, dapat dipahami bahwa, tidak terjadi tarjih terhadap al-Qur`an ( qath`i al-thubut ) dengan hadits Ahad ( zhanni al-thubut ) dikarenakan kedua dalil ini tidak sederajat (setingkat). Lain halnya jika terjadi perbedaan dari segi dalalahnya. 

Seperti kedua dalil-dalil itu sama-sama qath`i al-thubut (al-Qur`an dan Hadith mutawatir), akan tetapi kandungan isinya ( dalalah ) yang satu qath`i al-dalalah dan yang lain zhanni al-dalalah . 

Demikian pula (tidak terjadi tarjih), jika yang satu dalil dari hadits Mutawatir dan yang lain hadits Ahad, karena dalam hal semacam ini hadits Mutawatir yang harus didahulukan dalam pengamalannya.

Cara pentarjihan di kalangan ulama ushul fiqh

Menurut ulama ushul, cukup banyak metode yang bisa digunakan untuk mentarjih dua dalil yang bertentangan apabila tidak mungkin dilakukan melalui cara at-jam’u baina at-taufiq (penggabungan) dan naskh (menghapuskan).

Namun cara pen- tarjih -an tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: (1) at-Tarjih baina an-Nushush, artinya menguatkan salah satu nash (ayat atau hadits) yang saling bertentangan, dan (2) at-tarjih baina al-qias, yaitu menguatkan salah satu qias (analogi yang bertentangan).

Tarjih baina an-Nushush

Tarjih baina an-Nushush, terbagi menjadi beberapa bagian, berikut ini.

I. Dari segi sanad

Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa pen- tarjih -an dapat dilakukan melalui 42 cara, diantaranya di kelompokkan dalam bagian berikut:

▪Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya

Cara ini antara lain dengan meneliti kuantitas perawi suatu hadits. Menurut jumhur, hadits yang banyak perawinya di- tarjih -kan dari yang sedikit, karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan sangat kecil.

Tetapi Abu Hanifah, dan Abu Hasan Al-Karkhi menolak pendapat jumhur tersebut. Mereka semua berasal dari golongan mazhab Hanafi. Menurut mereka banyaknya perawi tidak bisa men- tarjih hadits lain yang lebih sedikit perawinya, kecuali kalau lebih dari tiga orang perawi (hadits Masyhur). Mereka menganalogikan kepada kasus persaksian yang bertentangan, bahwa hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara atas dasar persaksian yang lebih banyak orangnya.

Jumhur juga berpendapat bahwa pen- tajih -an boleh dilakukan berdasarkan kualitas perawi, misalnya hadits yang perawinya yang lebih dhabit (kuat hapalan) dikuatkan dari hadits yang perawinya tidak dhabit. Dan dibolehkan pula men- tarjih hadits berdasarkan pada cara penerimaan hadits, misalnya hadits yang diterima dan dipelihara melalui hapalan perawi lebih diutamakan daripada hadits yang diterima perawi melalui tulisan.

▪Pen- tarjih-an dengan melihat riwayat itu sendiri.

Yaitu menguatkan hadits mutawatir daripada hadits masyhur atau menguatkan hadits masyhur daripada hadits ahad. Bisa juga dengan melihat persambungan sanadnya, misalnya hadits yang sampai kepada Rasul di- rajih daripada hadits yang tidak sampai ke Rasul.

▪Pen- tarjih-an melalui cara menerima hadits dari Rasul

Yaitu me- rajih -kan hadits yang diterima dan dipelihara melalui hapalan perawi dari hadits yang diterima perawi melalui tulisan. Dikuatkan hadits yang memakai lafazh langsung dari Rasulullah SAW., seperti lafal naha (melarang) atau amara (memerintah) daripada riwayat yang lain. Begitu pula hadits ahad yang matannya tidak menyangkut orang banyak didahulukan dari hadits ahad matannya mengandung orang banyak. Hal itu didasarkan pada kesangsian Ulama Ushul , bahwa tidak mungkin hadits yang menyangkut orang banyak memiliki perawi sedikit.

 

Presensi Kehadiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Runtuhnya Dinasti Umayyah

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain: 1. Sistem p...