ITTIBA
C.
ITTIBA’
1.
Pengertian
Ittiba’
Dalam buku Ilmu Ushul Fiqh 1 & 2 dikatakan bahwa “Kata “Ittiba’” berasal dari bahasa
Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il ”Ittaba’”, yang artinya adalah mengikut
atau menurun.”[11]
Sedangkan Ittiba’ menurut istilah adalah :
اَلْأِ تْبَاعُ قَبُوْلُ قَوْلِ الْقَائِلِ وَأَنْتَ تَعْلَمُ
حُجَّتَهُ .
Yang artinya
adalah “Menerima perkataan orang lain dan (kamu) mengetahui dari mana sumber
alasan tersebut.”[12]
Jadi, Ittiba’ berdasarkan definisi bahasa dan istilah adalah
diterimanya fatwa atau perkataan oleh seseorang yang mana perkataan tersebut
dapat dipertanggung jawabkan karena sesuai dengan sumber yang jelas yakni dari
Al – Qur’an , Al Sunnah, serta hasil ijtihad ulama – ulama.[13]
Muttabi’ adalah seseorang yang menerima perkataan atau fatwa oleh seseorang Muttaba’
bersumber dari Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad para ulama. Sedangkan Muttaba’ adalah orang yang memberikan fatwa atau
perkataan kepada Muttabi’. Dan seorang Muttabi’ harus mengetahui
bahasa arab atau dalilnya tetapi tidak harus tahu mengetahui sah atau tidaknya
sebuah fatwa atau hadits dikarenakan seorang Muttaba’ sudah mengatakan
sah maka sah lah fatwa tersebut dan
seorang Muttaba’ harus bertanggung
jawab atas perkataan nya tersebut dikarenakan berdosalah dia jika iya tengah
berdusta atau mengesahkan sesuatu hadits tanpa mengecek kebenaran hadits
tersebut. Tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk Muttabi’ maka jika
seorang Muttaba’ berdusta seorang
Muttabi’ tidak berdosa.[14]
Setiap muslim wajib hukumnya ber ittiba’ karena Allah SWT
sudah memerintahkan dalam firman Nya:“Ikuti apa yang dirutunkan kepadamu
dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya”(Al-A’raf:
3)
Dari ayat diatas Allah SWT telah memerintahkan bahwa seorang hamba
harus mengikuti perintahNya. Dan perintah – perintah tersebut merupakan wajib
bagi setiap muslim.
Dimulainya munculnya Ittiba’ sejak zaman nabi, dan
seterusnya hingga sekarang. Dijelaskan dalam Qs. Ali ‘Imran: 31 bahwa dalam
firman Allah tersebut telah diperintahkan untuk ber ittiba’ kepada
Rasulullah. Dikarenakan beliau (Rasulullah) mempunyai banyak kemuliaan yang
lebih utama dari Nabi sebelum – sebelumnya, maka beliau yang dapat dijadikan
suri tauladan serta diikuti dan dipegang teguh ajarannya dan mengamalkan apa
yang telah diajarkan dari Allah kepadanya.[15]
Menurut Ibn Taimiyyah pilar kebahagiaan bagi setiap Muslim bagi
kehidupan dunia dan akhirat kelak adalah ber ittiba’ kepada Rasulullah.
Ibn Taimiyyah berkata “Bahwa pilar kebahagiaan (sa’adah) dan hidayah adalah
dengan mengikuti Rasulullah. Sebaliknya, pangkal kesesatan dan kesengsaraan
dikarenakan menyelisihinya. Sesungguhnya setiap kebaikan di penjuru alam
semesta ini, baik yang sifatnya umum maupun khusus, sumbernya dari diutusnya
Rasul. Begitu pula dengan semua keburukan yang menimpa umat manusia di alam
semesta, adalah karena penyimpangan terhadap petunjuk Rasul dan tidak
mengetahui ajarannya. Maka kebahagiaan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi adalah
dikarenakan ittiba’ kepada risalahnya.”
Risalah kenabian Muhammad sangat dibutuhkan oleh seluruh makhluk
bahkan mereka sangat membutuhkan Rasulullah melebihi apapunn yang dibutuhkan
mereka untuk kebutuhan di dunia. Nabi Muhammad diutus dikarenakan untuk
kekuatan bagi alam semesta, dan menjadi nur bagi kehidupan.[16]
‘Abd al-Rahman ibn Nashir al-Sa’di mennggambarkan dalam Taisir
al – Karim fi Tafsir Kalam al-Mannan bahwa ittiba’ merupakan
sebagai:
اتباع
ما أنزل الله على رسوله – وهو للبلغ عن
الله وحيه الذي اهتدى يه الخلق, فأنه هو الهدى والرحمة – علمًا وعملا وحالا ودعوة
أليهو, بالاعتقادات والأقوال والأعمال, فأن من اتبعه اتبع ما أمر يه , واجتني ما
تهي عنه.
“Mengikuti syariat yang diwahyukan Allah SWT
kepada RasulNya[17]
– karena ia adalah penyampai (muballigh) wahyu Allah yang dengannya umat
manusia mampu menggapai jalan hidayah[18],
dan syariat aau wahyu tersebut merupakan sumber petunjuk dan rahmat[19]
– dalam seluruh aspek ilmu , perbuatan, karakter diri dan syariat atau wahyu
tersebut merupakan sumber petunjuk dan rahmat – dalam seluruh aspek ilmu,
perbuatan, karakter diri dan dalam seruan dakwahnya[20],
baik dalam akidah, ucapan maupun amal perbuatan[21],
maka mengikutinya adalah dengan mengimplementasikan perintahnya dan
meninggalkan larangannya[22].”
Jadi, menurut tafsiran dari definisi
ittiba’, ittiba’ merupakan sebuah usaha dan upaya yang optimal seklaigus
maksimal untuk menganut dan meniru Rasulullah sebagai suri tauladan dalam
agama. Dan karena pengajaran dakwah yang dilakukan Rasulullah telah turun
temurun digunakan untuk generasi berikutnya dan seterusnya, maka ittiba’ menganut apa – apa (perbuatan, ucapan, ajaran)
saja yang telah disampaikan Rasul dan berdasarkan dalil-dalil yang benar yaitu
Al – Qu’an dan Al- Hadits.[23]
Dan
adapun komponen-komponen yang menjadi makna pokok dalam al-ittiba’ di
Islam, yaitu :
1.
Usaha untuk
dapat mengikuti ataupun meneladani.
2.
Adanya pihak
yang diikuti untuk dijadikan panutan, yaitu Rasulullah.
3.
Hal yang
diikuti merupakan perbuatan, ucapan, akidah, dan perbuatan lain yang dilakukan
tetapi sudah ditinggalkan.
4.
Berdasarkan
kepada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, yaitu al –
Qur’an, Hadits Shahih.
5.
Ketika ber ittiba’
mengikuti berdasarkan niat atau kemauan sendiri bukan karena paksaan atau kebencian
dalam hati dan tetap mengamalkan apa yang telah diikuti.[24]
Vita Ratnasari 11c
BalasHapusYessy nur oktavia
BalasHapusMuhammad sofyan
BalasHapusIta Rosanti
BalasHapus